Sosok Subchan dikenal sebagai
politisi cum intelektual Nahdlatul Ulama yang berani melawan kekuasaan. Namanya
melejit setelah tragedi 1965.
unjungan Subchan Zaenuri Echsan ke
Yogyakarta itu meninggalkan kesan spesial bagi anak-anak muda Nahdlatul Ulama
(NU). Terjadi sekitar 1965, tokoh NU itu memaparkan pandangannya tentang konsep
ekonomi baru di depan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Yogyakarta. “Dia membawa konsep ekonomi alternatif. Waktu itu belum
ada orang NU yang bisa berbicara ekonomi sefasih Subchan,” ujar Profesor
Umar Basalim, mantan Rektor Universitas Nasional, yang kala itu termasuk salah
satu anak muda NU tersebut, kepada Prioritas, Senin dua pekan lalu.
Kepakaran Subchan dalam pemikiran
ekonomi, kata Umar, karena disokong bahan bacaan yang banyak. Dia juga rutin
berlangganan Time, Newsweek, The Economist, serta
jurnal-jurnal ekonomi dari Eropa Timur.
Ketika di awal Orde Baru, sekitar
1966, Subchan sempat membuat kelabakan dua ekonom lulusan Berkeley, Widjojo
Nitisastro dan Ali Wardhana, dalam sebuah diskusi di Kampus Universitas
Indonesia, Salemba, Jakarta. Subchan mengemukakan pemikiran ekonomi alternatif.
Lantaran takjub, Mar’ie Muhammad, bekas Menteri Keuangan yang kala itu
bertindak sebagai panitia penyelengara, menyandangkan gelar “Zarjana Ekonomi”
untuk kepanjangan nama belakang Subchan ZE.
Selain piawai dalam berbagai
diskusi, Subchan dikenal sebagai sosok pembangkang yang berani. Saat menjabat
Senior Vice President dari Afro Asia Economic Coorporation (AFRASEC),
1960-1962, misalnya. Subchan pernah menggemparkan publik dengan mengeluarkan
delegasi Rusia dari persidangan di Kairo. Pulang dari Kairo, Subchan ditahan.
Dikabarkan pula, suatu ketika
Subchan pernah bertemu Bung Karno. Proklamator itu bertanya tentang
aktivitasnya ikut demontrasi. “Tidak, tidak saya tidak ikut demonstrasi tapi
saya yang memimpin demonstrasi,” ujar Subchan ketika itu, seperti terungkap
dalam buku Subchan ZE : Sang Maestro Politisi Intelektual dari
Kalangan NU Modern (Pustaka Indonesia Satu, 2001), yang
disunting Arief Mudatsir Mandan.
Subchan dibesarkan di tengah
keluarga santri kaya di Kudus. Di usia 14 tahun, Subchan sudah diserahi tugas
memimpin pabrik rokok cap “Kucing” di Kudus milik ayah angkatnya H. Zaenuri
Echsan, seorang pengusaha rokok kretek. Setelah berhasil di sana, ia pindah ke
Jakarta. Di Ibu Kota, Subchan sukses mengendalikan jejaring bisnis 28
perusahaannya. Bahkan, dia dikabarkan memiliki pesawat pribadi, yang jarang
dimiliki konglomerat di zaman itu.
Tokoh pemuda NU Subchan memegang
senjata di ruang kerjanya, 1966.
Sedari muda, Subchan telah berperan
dalam lingkungan sosial sehingga menjadi tokoh nasional yang disegani. Pada
masa revolusi fisik, pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 29 Januari 1929 ini,
sudah tergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di bawah
pimpinan Bung Tomo. Anak keempat dari 13 bersaudara ini, mulai bergabung ke NU
pada 1950-an di lembaga pendidikan NU, Ma’arif, di Semarang, Jawa Tengah. Putra
pasangan H. Rochlan Ismail dan Hj. Siti Masnichah itu, kemudian menjadi kepala
sekolah menengah Islam di Semarang.
Meski menekuni dunia pendidikan,
Subchan tak punya gelar sarjana. Dia hanya sempat belajar sebentar di Fakultas
Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Itu pun, hanya sebagai mahasiswa pendengar.
Namun, menurut Umar, sekretaris politik Subchan pada 1967-1973, Subchan
merupakan pembelajar otodidak. Dia juga menguasai bahasa asing, khususnya
bahasa Belanda dan Inggris. Karena kemampuan bahasa itu, kata Umar, Subchan
sempat memperoleh leadership grant selama setahun (1961-1962) untuk
mengikuti Course Program Economic Development di University of
California Los Angeles (UCLA), dari Pemerintah Amerika Serikat.
Nama Subchan melejit sebagai tokoh
nasional ketika Gerakan 30 September meletus pada 1965. “Tokoh sipil terdepan
pak Subchan. Boleh dibilang pada 1965 itu mirip seperti Gus Dur atau Amien Rais
ketika memimpin gerakan Reformasi 1998,” kata tokoh Nahdlatul Ulama KH
Salahuddin Wahid kepada Prioritas. Setelah kegagalan kup itu, Subchan
mempelopori pembentukan Ketua Aksi Pengganyangan Gestapu/ Partai Komunis
Indonesia (PKI). Aksi itu merupakan gabungan dari tujuh partai politik, tiga
organisasi massa dan 130 organisasi lainnya.
Ketika masa transisi ke Orde Baru
itu, menurut Gus Solah, panggilan akrab Salahuddin Wahid, anak-anak muda
aktivis menjadikan Subchan sebagai tokoh idolanya. Rumah Subchan yang berada di
Jalan Banyumas 4, Menteng, Jakarta Pusat, menjadi salah satu markas anakanak
muda melawan komunis. Dari rumah itu, disusun rencana aksi-aksi demonstrasi
besar untuk menggoyang kekuasaan pemimpin revolusi Bung Karno.
Tokoh pemuda NU Subchan ZE 1966.
Sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS), Subchan ikut menandatangani keputusan peralihan
kekuasan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Namun, hubungan mesra Subchan dengan
Soeharto hanya bertahan lima tahun. Perlawanan Subchan kepada kekuasaan rezim
Orde Baru, kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam,
ditandai dengan terbitnya “Buku Putih MPR”, setelah pelantikan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilu 1971. Dalam buku
itu disebutkan pemerintah Orde Baru tidak menegakkan demokrasi dan rule of
law. “Buku Putih ini lalu dibakar militer,” ujar Asvi saat ditemui Prioritas
di kantornya.
Asvi menyebutkan, Subchan pernah
berkonfrontosi tajam dengan Jenderal Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri saat
itu, menyangkut Pemilu 1971. Subchan melawan Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun
1969 yang dikeluarkan Jenderal Amir. Peraturan itu memuat aturan bahwa semua
pegawai negeri tidak boleh lagi berafiliasi dengan partai politik yang akan
ikut Pemilu saat itu.
Ketika itu, konsepnya bernama
monoloyalitas, yaitu pegawai negeri hanya boleh loyal kepada organisasi Korps
Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Komentar Subchan saat itu sangat keras.
Dia menyebut bahwa itu bukan general election tapi election for
general. “Dia melakukan perlawanan kepada Korpri yang menyatukan suara dari
pegawai negeri untuk mendukung Golkar,” kata Asvi lagi.
Hingga kini, menurut Asvi, yang
masih menjadi misteri dari Subchan adalah kematiannya. Subchan meninggal pada
Ahad siang, 21 Januari 1973, di Tanah Suci Mekkah, karena kecelakaan lalu
lintas. Sebelum wafat, Brian May, koresponden Kantor Berita Perancis Agence France-Presse
(AFP) sempat mewawancarai Subchan.
Dalam wawancara itu, Subchan
mengungkap tentang bisnis Soeharto dengan Ibnu Sutowo di Singapura. Saat musim
haji, ketika Subchan mengalami kecelakaan, Jenderal Amir Machmud juga tengah
berada di Tanah Suci.”Ini tetap janggal karena tidak ada investigasi pemerintah
untuk mengusut kematiannya,” kata Asvi.
Gemar Berdansa
Penampilan Subchan Zaenuri Echsan
yang cenderung flamboyan membuatnya kerap berseberangan dengan para kyai
Nahdlatul Ulama (NU). “Subchan itu pergaulannya luas tapi cenderung bebas,”
ujar tokoh Nahdlatul Ulama KH Salahuddin Wahid kepada Prioritas,
beberapa waktu lalu.
Subchan pernah dipecat dua kali dari
jabatannya sebagai Ketua I Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Pemecatan itu karena
ditemukan sebuah foto yang menggambarkan Subchan sedang berdansa dengan seorang
perempuan yang bukan muhrim di suatu tempat. “Di NU berdansa itu tidak bisa
diterima,” ujar Gus Solah, sapaan Salahuddin Wahid.
Cosmas Batu Bara, aktifis 66, pernah
melaksanakan pesta dansa bersama mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI) di penghujung tahun 1965. Cosmas menilai, Subchan
merupakan pedansa yang baik dan sopan sekali dalam mengajak mahasiswa untuk
berdansa. Comas pernah menanyakan kepada Subchan, “Apakah tidak dilarang
seorang tokoh Islam untuk berdansa.” Ketika itu, Subchan menjawab, “Saya kan
masih lajang, dengan demikian saya bebas saja berdansa dengan wanita manapun.”
Meski Subchan suka berdansa, kata
Umar Basalim, mantan Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat,
sebagai orang NU amalan agamanya sangat kuat sehingga KH Ali Ma’shum Krapyak,
Yogyakarta, membela Subchan yang dipecat. “Kalau wiridan itu bisa panjang. Di
mobil dia wiridan dengan bacaan khusus,” kata Umar.
See more at:
http://www.prioritasnews.com/2012/10/29/tokoh-nahdliyin-yang-flamboyan/#sthash.tEKlE3cb.dpuf