Majelis Taklim Kanzul Ilmi Center
(KIC) menyelenggarakan acara Cafe Aswaja Milenial untuk ketiga kalinya Jumat
pekan lalu. Dengan bertempat di gedung Majelis Taklim KIC Jalan Raya Talok
Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini mengusung tema Hijrah Millenial
dalam Perspektif Aswaja. Acara yang diikuti oleh sekitar tiga ratusan siswa
siswi sekolah menengah umum (SMU) se-Brebes Selatan ini dihadiri oleh dua
narasumber dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jawa Tengah. Acara yang
berlangsung mulai pukul 13.30 WIB berlangsung sampai pukul 16.30 WIB. Waktu
yang disediakan panitia tersebut dirasa sangat kurang karena tingginya animo
peserta Cafe Aswaja Milenial dalam mengikuti acara tersebut, hal ini nampak
dari banyaknya pertanyaan yang muncul dari dua sesi tersebut. Kanzul Ilmi
Center merupakan majelis taklim yang diresmikan pada 2 Desember 2018 bergerak
dalam bidang pengajian. Tidak hanya kepada para orang tua, pengajian dan
pembinaan akhlak juga dilakukan kepada generasi muda. Hal ini dibuktikan dengan
diselenggarakannya kegiatan Cafe Aswaja untuk para generasi milenial dengan
tujuan mendampingi para generasi milenial agar tidak terkontaminasi oleh
pemahaman agama menyimpang yang saat ini marak di media sosial.
Tema-tema
yang diusung dalam setiap kali pelaksanaan Cafe Aswaja Milenial juga
disesuaikan dengan tren yang ada di dunia maya. Seperti tema hijrah yang sedang
marak dan menjadi trending topic. Acara cafe milenial ini terselenggara atas
kerja sama antara KIC dengan SMA Negeri 1 Bumiayu dan tidak menutup kemungkinan
sekolah lain untuk juga turut pada acara tersebut. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya siswa dari sekolah lain yang juga hadir pada setiap acara tersebut.
Hingga tak kurang dari 300 peserta hadir pada siang itu. Hadir pada siang
itu adalah KH Abdul Basith (Wakil Ketua LDNU Jawa Tengah) dan KH Nashif
‘Ubbadah (PWNU Jawa Tengah). Dua kiai jebolan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir
ini membahas tema Hijrah dalam Perspektif Aswaja dengan tuntas disertai dengan
contoh-contoh yang gamblang. Acara yang dimoderatori oleh Solehudin ini
berjalan dengan materi pertama disampaikan oleh Kiai Abdul Basith. Dalam
paparannya, kiai yang berdomisili di Purwoyoso, Ngalian, Semarang ini
menjelaskan tentang pengertian dan sejarah awal munculnya hijrah di dalam
Islam. Dalam pembukaannya, Kiai Basith merasa sangat trenyuh karena melihat
fenomena yang ada di Kota Bumiayu yang ternyata generasi mudanya masih suka
ngaji.
Hal
ini menurutnya berbeda jauh dengan yang terjadi di kota-kota besar, misalnya
Semarang. Fenomena ngaji di Semarang sudah tergantikan dengan ngaji dari medsos
yang gurunya adalah mbah google. Menurut Kiai Basith hijrah pada dasarnya
adalah saat Rasul pindah dari Mekah ke Madinah. Kemudian mengalami pelebaran
makna dengan berpindah dari sesuatu yangbelum baik atau kurang baik menjadi
lebih baik. Hijrah dalam hal budaya dikenal dengan tradisi menjaga dan
melestarikan sesuatu yang baik dan mengambil sesuatu yang lebih baik.
“Jadi
hijrah dalam hal budaya adalah mengambil budaya yang baik dan tidak harus
budaya yang serba datangnya dari Arab,” ujar Kiai Basith. Konteks sekarang ini
banyak sekali wacana tentang hijrah namun juga tak sedikit yang salah
dalam mengartikan hijrah itu sendiri. Dalam ajaran Islam, akhlakul karimah
merupakan ajaran yang harus dikedepankan. Seperti akhlak seorang murid kepada
guru, guru kepada murid. Ada juga akhlak anak kepada orang tua. Semua tuntas
dibahas di dalam Islam. Namun banyak orang mengikuti hijrah justru salah
kaprah. Sekarang ini banyak anak yang justru mengatur orang tua, murid mengatur
gurunya. Seperti, “harusnya bapak dalam mengajar saya dengan metodologi yang
bagus jadi saya mudah memahami pelajaran” atau ada lagi “ harusnya ibu memberi
saya uang jajan yang cukup agar saya dapat membeli berbagai macam kebutuhan
saya”. Sering kalimat seperti itu keluar dari mulut seorang murid kepada
gurunya atau seorang anak kepada orang tuanya. Ini merupakan hal yang tidak
benar dan karenanya kita harus bisa hijrah. Pindah dari hal yang tidak baik
menjadi lebih baik. “Saya sangat kagum kepada masyayikh saat belajar di Azhar
(Kairo Mesir)”, kata Kiai Basith.
Saat di tahun 90 mengalami krisis ekonomi, banyak anak-anak Indonesia yang sekolah di Mesir bingung. Karena mereka terancam putus sekolah. Maka apa yang dilakukan oleh Masyayikh di Azhar? Mereka menyampaikan bahwa, Kamu jangan pulang, jangan takut, jangan khawatir. Kalau ada masalah finansial maka pintu kantorku terbuka sebelum pintu rumahku, insyaallah dibantu, untuk keperluan diktat ataupun untuk makan,” demikian lanjut cerita Kiai Basith. Hal itu seperti yang berlaku di pesantren, saat kiai memberikan gratisan makan dan sekolah kepada para santrinya dan setelah pulang sekolah membantu kiai, itu sangat memberi arti yang mendalam kepada para santri. Hingga adab murid kepada guru terjaga dengan baik. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di media sosial. Karena merasa sudah pinter maka kemudian memberikan komentar tanpa adab, tanpa sopan santun. Seperti di medsos, orang yang tidak pernah belajar agama berani menghina kiai yang belajar agama dari kecil hingga tua. Makanya kita semua harus selektif, jangan mudah percaya. Tanya pada orang yang kompeten jika tidak tahu. Narasumber kedua pada acara Cafe Aswaja Milenial yang diselenggarakan oleh Majlis Taklim Kanzul Ilmi Center adalah Kiai Nashif ‘Ubbadah. Kiai Nasif lebih banyak menyampaikan tentang keprihatinannya atas serangan kepada generasi muda NU dari media sosial. Kiai yang berdomisili di Pesantren Al-Muntaha Salatiga ini menjelaskan tentang betapa dahsyatnya serangan udara (internet) kepada generasi muda NU. “Jadi kegiatan Cafe aswaja ini sangat bermanfaat untuk memberi pengetahuan bahwa di medsos semua ada, NU ada, Muhamadiyah ada, HTI juga ada. Dan hal ini diperparah fenomena generasi muda yang lebih suka mencari jawab tentang agama melalui medsos. Bukan kepada guru atau kiai,” jelas Kiai Nashif. Ia menjelaskan tentang Komunitas Royatul Islam lebih menyasar kepada kepada generasi muda, anak-anak muda dan masuk ke sekolah-sekolah. Terutama di Jawa Barat. Dengan menggunakan atribut berupa kaos, topi dengan bertuliskan kalimat tauhid. Padalah menurut Kiai Nashif, ada tujuan tersembunyi dari itu semua, yakni untuk membuat gelombang baru. Seperti juga dengan melakukan latihan fisik seperti memanah dan berenang, ada maksud di dalamnya. Dengan latihan fisik yang teratur mereka diarahkan untuk menjadi tentara-tentara yang mahir secara fisik yang tujuan akhirnya adalah mendirikan negara khilafah. “Saya sudah melakukan penelitian dengan berbagai hal yang berhubungan dengan hijrah dan HTI, di seminar saya sudah tiga kali. Dan dari penelitian tersebut saya mengamati bahwa walaupun mereka sudah dibekukan tapi di medsos mereka masih aktif, hal ini disebabkan oleh karena regulasi yang masih lemah, masih memberikan peluang untuk mereka terus berkembang,” kata Kiai Nashif. Mereka berusaha menciptakan gelombang baru yang berbeda dengan mainstream. Gelombang itu yang pertama adalah secara dhohir, dari segi dari penampilan. Mereka mengedepankan identitas dengan berjenggot, tidak suka memakai sarung, batik dan tidak mau memakai peci hitam. Mereka lebih memilih pakai topi dan celana jeans. Kedua,secara ajaran. Tidak berlandaskan Ahlusunnah wal Jamaah. Ketiga adalah pada ideologi yaitu khilafah. Dan hijrah yang mereka sasar bukan para orang tua atau generasi old yang mereka sasar adalah para generasi muda terutama kaum milenial. Hal ini disebabkan karena mereka lebih percaya diri untuk berkomunikasi menyampaikan ideologinya pada anak muda, tidak kepada orang tua. “Karenanya, dalam bermedsos kita harus berhati-hati, karena di medsos semua ada, maka kita harus punya filter sendiri,” jelas Kiai Nashif. Acara Cafe Aswaja Milenial yang berlangsung selama hampir tiga jam itu juga diwarnai dengan berbagai pertanyaan menarik yang disampaikan oleh para peserta. Setidaknya ada lima penanya yang tidak hanya menyampaikan pertanyaan saja, namun juga memberikan berbagai masukan baik kepada pihak sekolah dalam hal ini para guru dan Kepala Sekolah. Masukan juga disampaikan kepada pengelola Majelis Taklim Kanzul Ilmi Center agar bisa lebih memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai cara untuk menangkal pergerakan salah kaprah hijrah di kalangan generasi milenial. Acara diakhiri dengan harapan bahwa acara Cafe Aswaja Millenial dapat terus diselenggarakan dan menyasar kepada lebih banyak generasi muda di wilayah Brebes.
(Lili/Fathoni)
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/104140/cafe-aswaja-untuk-generasi-milenial-di-brebes
0 comments:
Post a Comment