Assalamualaikum Wr.Wb.

SELAMAT ATAS MUSRAN NU KALILANGKAP MASA KHIDMAT 2023-2028.....MEDIA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEGIATAN RANTING NU DAN BADAN OTONOM RANTING KALILANGKAP

20 December 2014

SEPENGGAL KISAH KH SUBHAN ZE

Sosok Subchan dikenal sebagai politisi cum intelektual Nahdlatul Ulama yang berani melawan kekuasaan. Namanya melejit setelah tragedi 1965.
unjungan Subchan Zaenuri Echsan ke Yogyakarta itu meninggalkan kesan spesial bagi anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Terjadi sekitar 1965, tokoh NU itu memaparkan pandangannya tentang konsep ekonomi baru di depan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yogyakarta. “Dia membawa konsep ekonomi alternatif. Waktu itu belum ada orang NU yang bisa berbicara ekonomi sefasih Subchan,” ujar Profesor Umar Basalim, mantan Rektor Universitas Nasional, yang kala itu termasuk salah satu anak muda NU tersebut, kepada Prioritas, Senin dua pekan lalu.
Kepakaran Subchan dalam pemikiran ekonomi, kata Umar, karena disokong bahan bacaan yang banyak. Dia juga rutin berlangganan Time, Newsweek, The Economist, serta jurnal-jurnal ekonomi dari Eropa Timur.
Ketika di awal Orde Baru, sekitar 1966, Subchan sempat membuat kelabakan dua ekonom lulusan Berkeley, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, dalam sebuah diskusi di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Subchan mengemukakan pemikiran ekonomi alternatif. Lantaran takjub, Mar’ie Muhammad, bekas Menteri Keuangan yang kala itu bertindak sebagai panitia penyelengara, menyandangkan gelar “Zarjana Ekonomi” untuk kepanjangan nama belakang Subchan ZE.
Selain piawai dalam berbagai diskusi, Subchan dikenal sebagai sosok pembangkang yang berani. Saat menjabat Senior Vice President dari Afro Asia Economic Coorporation (AFRASEC), 1960-1962, misalnya. Subchan pernah menggemparkan publik dengan mengeluarkan delegasi Rusia dari persidangan di Kairo. Pulang dari Kairo, Subchan ditahan.
Dikabarkan pula, suatu ketika Subchan pernah bertemu Bung Karno. Proklamator itu bertanya tentang aktivitasnya ikut demontrasi. “Tidak, tidak saya tidak ikut demonstrasi tapi saya yang memimpin demonstrasi,” ujar Subchan ketika itu, seperti terungkap dalam buku Subchan ZE : Sang Maestro Politisi Intelektual dari Kalangan NU Modern (Pustaka Indonesia Satu, 2001), yang disunting Arief Mudatsir Mandan.
Subchan dibesarkan di tengah keluarga santri kaya di Kudus. Di usia 14 tahun, Subchan sudah diserahi tugas memimpin pabrik rokok cap “Kucing” di Kudus milik ayah angkatnya H. Zaenuri Echsan, seorang pengusaha rokok kretek. Setelah berhasil di sana, ia pindah ke Jakarta. Di Ibu Kota, Subchan sukses mengendalikan jejaring bisnis 28 perusahaannya. Bahkan, dia dikabarkan memiliki pesawat pribadi, yang jarang dimiliki konglomerat di zaman itu.
Tokoh pemuda NU Subchan memegang senjata di ruang kerjanya, 1966.
Sedari muda, Subchan telah berperan dalam lingkungan sosial sehingga menjadi tokoh nasional yang disegani. Pada masa revolusi fisik, pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 29 Januari 1929 ini, sudah tergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di bawah pimpinan Bung Tomo. Anak keempat dari 13 bersaudara ini, mulai bergabung ke NU pada 1950-an di lembaga pendidikan NU, Ma’arif, di Semarang, Jawa Tengah. Putra pasangan H. Rochlan Ismail dan Hj. Siti Masnichah itu, kemudian menjadi kepala sekolah menengah Islam di Semarang.
Meski menekuni dunia pendidikan, Subchan tak punya gelar sarjana. Dia hanya sempat belajar sebentar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Itu pun, hanya sebagai mahasiswa pendengar. Namun, menurut Umar, sekretaris politik Subchan pada 1967-1973, Subchan merupakan pembelajar otodidak. Dia juga menguasai bahasa asing, khususnya bahasa Belanda dan Inggris. Karena kemampuan bahasa itu, kata Umar, Subchan sempat memperoleh leadership grant selama setahun (1961-1962) untuk mengikuti Course Program Economic Development di University of California Los Angeles (UCLA), dari Pemerintah Amerika Serikat.
Nama Subchan melejit sebagai tokoh nasional ketika Gerakan 30 September meletus pada 1965. “Tokoh sipil terdepan pak Subchan. Boleh dibilang pada 1965 itu mirip seperti Gus Dur atau Amien Rais ketika memimpin gerakan Reformasi 1998,” kata tokoh Nahdlatul Ulama KH Salahuddin Wahid kepada Prioritas. Setelah kegagalan kup itu, Subchan mempelopori pembentukan Ketua Aksi Pengganyangan Gestapu/ Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi itu merupakan gabungan dari tujuh partai politik, tiga organisasi massa dan 130 organisasi lainnya.
Ketika masa transisi ke Orde Baru itu, menurut Gus Solah, panggilan akrab Salahuddin Wahid, anak-anak muda aktivis menjadikan Subchan sebagai tokoh idolanya. Rumah Subchan yang berada di Jalan Banyumas 4, Menteng, Jakarta Pusat, menjadi salah satu markas anakanak muda melawan komunis. Dari rumah itu, disusun rencana aksi-aksi demonstrasi besar untuk menggoyang kekuasaan pemimpin revolusi Bung Karno.
Tokoh pemuda NU Subchan ZE 1966.
Sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Subchan ikut menandatangani keputusan peralihan kekuasan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Namun, hubungan mesra Subchan dengan Soeharto hanya bertahan lima tahun. Perlawanan Subchan kepada kekuasaan rezim Orde Baru, kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam, ditandai dengan terbitnya “Buku Putih MPR”, setelah pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilu 1971. Dalam buku itu disebutkan pemerintah Orde Baru tidak menegakkan demokrasi dan rule of law. “Buku Putih ini lalu dibakar militer,” ujar Asvi saat ditemui Prioritas di kantornya.
Asvi menyebutkan, Subchan pernah berkonfrontosi tajam dengan Jenderal Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri saat itu, menyangkut Pemilu 1971. Subchan melawan Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 1969 yang dikeluarkan Jenderal Amir. Peraturan itu memuat aturan bahwa semua pegawai negeri tidak boleh lagi berafiliasi dengan partai politik yang akan ikut Pemilu saat itu.
Ketika itu, konsepnya bernama monoloyalitas, yaitu pegawai negeri hanya boleh loyal kepada organisasi Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Komentar Subchan saat itu sangat keras. Dia menyebut bahwa itu bukan general election tapi election for general. “Dia melakukan perlawanan kepada Korpri yang menyatukan suara dari pegawai negeri untuk mendukung Golkar,” kata Asvi lagi.
Hingga kini, menurut Asvi, yang masih menjadi misteri dari Subchan adalah kematiannya. Subchan meninggal pada Ahad siang, 21 Januari 1973, di Tanah Suci Mekkah, karena kecelakaan lalu lintas. Sebelum wafat, Brian May, koresponden Kantor Berita Perancis Agence France-Presse (AFP) sempat mewawancarai Subchan.
Dalam wawancara itu, Subchan mengungkap tentang bisnis Soeharto dengan Ibnu Sutowo di Singapura. Saat musim haji, ketika Subchan mengalami kecelakaan, Jenderal Amir Machmud juga tengah berada di Tanah Suci.”Ini tetap janggal karena tidak ada investigasi pemerintah untuk mengusut kematiannya,” kata Asvi.
Gemar Berdansa
Penampilan Subchan Zaenuri Echsan yang cenderung flamboyan membuatnya kerap berseberangan dengan para kyai Nahdlatul Ulama (NU). “Subchan itu pergaulannya luas tapi cenderung bebas,” ujar tokoh Nahdlatul Ulama KH Salahuddin Wahid kepada Prioritas, beberapa waktu lalu.
Subchan pernah dipecat dua kali dari jabatannya sebagai Ketua I Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Pemecatan itu karena ditemukan sebuah foto yang menggambarkan Subchan sedang berdansa dengan seorang perempuan yang bukan muhrim di suatu tempat. “Di NU berdansa itu tidak bisa diterima,” ujar Gus Solah, sapaan Salahuddin Wahid.
Cosmas Batu Bara, aktifis 66, pernah melaksanakan pesta dansa bersama mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di penghujung tahun 1965. Cosmas menilai, Subchan merupakan pedansa yang baik dan sopan sekali dalam mengajak mahasiswa untuk berdansa. Comas pernah menanyakan kepada Subchan, “Apakah tidak dilarang seorang tokoh Islam untuk berdansa.” Ketika itu, Subchan menjawab, “Saya kan masih lajang, dengan demikian saya bebas saja berdansa dengan wanita manapun.”
Meski Subchan suka berdansa, kata Umar Basalim, mantan Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai orang NU amalan agamanya sangat kuat sehingga KH Ali Ma’shum Krapyak, Yogyakarta, membela Subchan yang dipecat. “Kalau wiridan itu bisa panjang. Di mobil dia wiridan dengan bacaan khusus,” kata Umar.

See more at: http://www.prioritasnews.com/2012/10/29/tokoh-nahdliyin-yang-flamboyan/#sthash.tEKlE3cb.dpuf
Share:

2 comments:

  1. Ketika mendengar beliau meninggal saya merasa berduka karena Subchan ZE merupakan tokoh idola saya.
    Saya merasa cocok dengan pola pikir almarhum. Saya pikir jika beliau tdk meninggal saat itu pasti dikemudian hari Beliau akan menjadi Presiden RI.
    Sayang takdir telah berkata lain. Seorang yang cerdas dan berpandangan luas telah meninggal secara mendadak. Semoga disuatu saat kelak NU bisa mem[punyai tokoh sekaliber beliau. Aaamiin

    ReplyDelete

Blog Archive