Kiai Haji
Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer
sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal
dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri
Pesantren Gedang.
Dilihat dari
garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang
berkedudukan baik dan mulia. KHM. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh
dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri
lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah
binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa bin
Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI.
Semenjak
masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula
beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas
menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya:
Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu,
sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar
para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.
Kemauan yang
keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai
musyafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke
pondok yang lain, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan
berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh
Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi.
Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga
dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih
Bukhari.
Pada tanggal
16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926, KHM. Hasyim Asy’ari
bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah serta para ulama yang lain mendirikan
Jam’iyah Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
KHM. Hasyim
Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di Jawa
mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya,
karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan
ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang
prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa
mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian
dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para
ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian
dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.
Dalam rangka
mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KHM. Hasyim Asy’ari mendirikan
pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya,
Tebuireng kemudian berkembang menjadi “pabrik” pencetak kiai. Sehingga
pemerintah Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang “dibikin” di
Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun
data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya
itu merupakan alumnus Tebuireng.
Dari sini
dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran
Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil
didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah heran bila kemudian juga tumbuh ribuan
pesantren dipimpin para kiai yang gigih mempertahankan madzhab, yang akhirnya
berada dalam satu barisan “Nahdlatul Ulama”, semua itu dapat dipahami sebagai
hasil pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dalam
perjalanan yang cukup panjang.
Pengabdian
Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada
bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme
dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah
bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang
pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa
dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai
Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh
Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional
seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan
bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.
Karena sikap
dan sifat kepahlawanan serta keulamaannya, maka tidak henti-hentinya pemerintah
kolonial berusaha membujuknya. Pada tahun 1937 misalnya, pernah datang kepada
beliau seorang amtenar utusan Hindia Belanda bermaksud memberikan tanda jasa
berupa “bintang” terbuat dari perak dan emas. Tetapi Kiai Hasyim menolak, dan
kemudian beliau bergegas mengumpulkan para santrinya dan berkata :
“Sepanjang
keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat; pada suatu ketika dipanggillah
Nabi Muhammad SAW oleh pamannya, Abu Thalib, dan diberitahu bahwasannya
pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal
untuk Nabi Muhammad SAW: kedudukan yang tinggi, harta benda yang berlimpah dan
gadis yang cantik. Akan tetapi, Baginda Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya
itu, dan berkata di hadapan pamannya, Abu Thalib: ‘Demi Allah, umpama mereka
itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku,
dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak akan mau. Dan aku akan
berjuang terus sampai cahaya Islam merata di mana-mana, atau aku gugur lebur
menjadi korban’. Maka kamu sekalian anakku, hendaknya dapat mencontoh
Baginda Muhammad SAW dalam menghadapi segala persoalan….”.
Sikap
seperti itu terulang pada saat Jepang berkuasa. Kedatangan Jepang disertai
kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu mnghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika” dengan cara
membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo, yang harus dilakukan
oleh seluruh penduduk dengan cara berbaris setiap pagi sekitar jam 07.00 WIB
tanpa kecuali baik itu anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan
buruh, bahkan di pesantren-pesantren. KHM. Asy’ari menentangnya.
Melakukan
‘saikerei’ menurut pandangan para ulama adalah ‘haram’ dan dosa besar.
Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat, yang hanya
diperuntukkan menyembah Allah SWT. Selain Allah, sekalipun terhadap Kaisar
Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit, haramlah diberi
hormat dalam bentuk ‘sakerei’ yang menyerupai ruku itu.
Akibat
penolakkanya itu, pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari ditangkap dan
dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, dan
akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara Bubutan,
Surabaya.
Selama dalam
tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga jari-jemari kedua
tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun berkat pertolongan Allah,
kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun luluh karena serbuan damai
ribuan santri dan unjuk rasa para kiai alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan
santri meminta dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan
dan pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70
tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah
tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang agaknya mulai
takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan dengan tanggal 18
Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.
Pada bulan
Oktober 1943, ketika NU dan Muhammadiyah bersepakat membentuk organisasi
gabungan menggantikan MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) dan diberi nama
MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang non politik, pimpinan
tertingginya dipercayakan kepada KHM. Hasyim Asy’ari. Dan pada tahun 1944
beliau diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat Urusan
Agama).
Pada
masa-masa akhir pemerintahan Jepang di Indonesia, Masyumi berhasil membujuk
Jepang untuk melatih pemuda-pemuda Islam khususnya para santri dengan latihan
kemiliteran yang kemudian diberi nama Hizbullah. Tanda anggota Hizbullah
ditandatangani oleh KHM. Hasyim Asy’ari.
Pada tanggal
7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KHM. Hasyim Asy’ari
berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi
gelar “Pahlawan Nasional”.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
0 comments:
Post a Comment