MENUJU SATU KALENDER (1)
Ilmu Hisab Jangan Disakralkan
Rabu,
15/05/2013 10:10
Lajnah Falakiyah PBNU telah menyelenggarakan kegiatan
Penyerasian Almanak Tingkat Nasional di Gresik, 9-12 Mei 2013, yang dihadiri
para ahli astronomi dari berbagai daerah dan pesantren. Berikut ini catatan NU
Online selama mengikuti kegiatan dan hasil dialog dengan para “makhluk
langka” itu yang akan dimuat berseri.
Gresik kali ini dipilih sebagai tuan rumah
penyelenggaraan pertemuan ahli hisab-rukyat. Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A.
Ghazalie Masroeri mengatakan, Gresik punya potensi kefalakiyahan tingkat
nasional. Gresik mempunyai lokasi pantai yang cukup strategis untuk mengamati
benda-benda langit.
Lajnah Falakiyah Gresik juga punya markaz rukyat
khusus yakni Balai Rukyat Condrodipo, bangunan dua lantai yang berada tepat
disamping makam Syekh Condrodipo salah seorang murid Sunan Giri, yang terletak
pada ketinggian 120 m di atas permukaan air laut m dan dengan sudut pandang
ufuk barat yang nyaris tanpa penghalang serta dilengkapi dengan peralatan
rukyat yang cukup canggih.
Bukan hanya itu, Gresik punya banyak sekali “pemburu
hilal” yang cukup militan. Lajnah Falakiyah sendiri tidak hanya diisi oleh para
ahli astronomi tetapi juga para aktivis yang siap sedia menjalankan roda
keorganisasian dan menyiapkan kader-kader “pemburu hilal” dari sekolah-sekolah
dan pondok pesantren.
Kegiatan penyerasian hisab di Gresik sengaja diadakan
berbarengan dengan dua peristiwa penting terkait bidang astronomi, yakni gerhana
matahari pada Jum’at pagi dan Rukyat Awal Rajab 1434 pada Jum’at Sore. Para
peserta hisab penyerasian secara “live” mengikuti observasi gerhana dan rukyat
awal bulan, masing-masing di Pelabuhan Gresik dan Balai Rukyat Condrodipo.
Observasi gerhana berjalan sesuai rencana, namun
sayang rukyat awal Rajab tidak berhasil karena ufuk barat cukup gelap oleh
mendung, meskipun posisi hilal sudah memenuhi kriteria visibilitas pengamatan
(imkarurukyat). Dari markaz perhitungan Condrodipo Gresik, seperti dalam data
hisab metode Irsyadul Murid yang dihitung oleh Ibnu Zahid Abdo el-Moeid,
dewan Pakar Lajnah Falakiyah Gresik, umur hilal sudah mencapai 09:48:54.
Sementara tinggi hilal pada saat dilakukan pengamatan mencapai 03018’
08,38”. Namun Jumat petang itu hilal benar-benar tak tampak.
Penyerasian Hisab
Di lingkungan NU, hisab atau teori hitung-hitungan
astronomi berfungsi untuk mendukung pelaksanaan rukyatul hilal. Ini kaitannya
dengan penentuan awal bulan qamariyah atau hijriyah. Jadi hilal yang hendak
diamati itu tidak sekonyong-konyong. Para ahli hisab sudah memperkirakan posisi
hilal nanti akan berada di sebelah mana, ketinggian, kemiringan serta lamanya
di atas ufuk sudah diperkirakan sebelum pelaksanaan ruakyat.
Namun demikian banyaknya ilmu hisab yang berkembang di
pesantren dengan berbagai hasil hitung yang berbeda justru menimbulkan
persoalan baru. Bukan saja terkait dengan “klaim’ keberhasilan melihat hilal,
tetapi juga beberapa hasil hitung yang berbeda juga akan mengakibatkan
perbedaan almanak yang beredar dan membingungkan warga yang awam ilmu falak.
Karya-karya orisinil ulama pesantren di bidang ilmu
falak juga cukup banyak. Para ahli falak juga belakangan memakai beberapa
metode hisab modern. Jadi selain nama kitab yang akrab di lingkungan pesantren
seperti Fathur Rouful Mannan, Khulasotul Wafiyah, Ittifaqu
Dzatil Bain, Nurul Anwar atau Irsyadul Murid, para ahli falak
juga memakai Ephimeris, Ascript Calculation, Javascript
Eclipse dan New Comb. Kiai Ghazalie menyebutkan sedikitnya ada
20 (duapuluh) metode hisab yang saat ini dipakai di lingkungan ahli falak NU
dan pesantren.
Buku Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama yang di
dalamnya terdapat petunjuk pelaksanaan penyerasian hisab baru diterbitkan pada
2006, namun menurut Kiai Ghazali, rapat penyerasian hisab sudah berlangsung
sebelum Muktamar NU di Lirboyo 1999, yang sebelumnya didahului dengan beberapa
kali halaqah dan seminar tentang perlunya kesatuan almanak NU.
Dalam buku pedoman itu disebutkan, “…perbedaan hasil
perhitungan, terutama pada stadium yang sulit ditoleransi secara ilmu pasti,
merupakan permasalahan yang dihasilkan oleh perkembangan ilmu hisab itu
sendiri.” Karena itu diperlukan adanya langkah penyerasian berbagai metode
hisab yang ada.
Penyerasian sendiri sebenarnya adalah kritik halus
untuk beberapa metode hisab yang mempunyai perbedaan hasil yang cukup menonjol
dibandingkan dengan metode-metode hisab lain, atau dengan bahasa yang lebih
lugas, mempunyai tingkat akurasi yang kurang memadai karena belum memasukkan
beberapa data penting yang merupakan produk terbaru dari perkembangan ilmu
astronomi itu sendiri.
Istilah "penyerasian" adalah gaya kritik
khas pesantren. Di pesantren, beberapa kitab yang sudah dikaji bertahun-tahun
diyakini sudah mempunyai tingkat kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat.
Para muallif atau pengarang kitab adalah orang alim yang ikhlas dan
benar-benar berkarya untuk berharap ridlo Allah SWT. Namun ilmu hisab,
sungguhpun ia terkait dengan penentuan waktu ibadah, adalah bagian dari
pengetahuan alam.
“Dalil-dalil kauniyah (riset) harus dipakai.
Ilmu falak jangan disakralkan. Saya sendiri belajar Khulashoh tetapi
tidak menolak yang lain,” kata Kiai Ghazalie. (A. Khoirul Anam dalam
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,44472-lang,id-c,nasional-t,Ilmu+Hisab+Jangan+Disakralkan-.phpx)
Muhammadiyah
Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab
oleh Pesantren
Virtual (Catatan) pada 29 Agustus 2011 pukul 1:10
Oleh: Thomas Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi -Astrofisika,
LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat,
Kementeria Agama RI
Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha
sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN
perbedaan metode hisab (perhitungan
) dan rukyat (pengamatan) , tetapi pada perbedaan
kriterianya. Kalau mau lebih
spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah
Muhammadiyah yang masih kukuh
menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk,
tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan
rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat
dipastikan terjadi perbedaan.
Perbedaan terakhir kita alami pada
Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha1431/2010 . Idul
Fitri 1432/ 2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau
kriteriaMuhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012 ,
1434/ 2013, dan1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi
hanya disodori solusi sementara,“mari kita saling menghormati” . Adakah solusi
permanennya? Ada, Muhammadiyah bersamaormas-ormas Islam harus bersepakati untuk
mengubah kriterianya.
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi
ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah
positif di atas ufuk? Kita ambil
kasus penentuan Idul Fitri 1432/ 2011. Pada saat maghrib 29
Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi
bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah
positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam
secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah
diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini
bisa menghisabnya.
Dengan posisi bulan seperti itu,
Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri
jatuh pada 30 Agustus 2011 karena
bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29
Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang
mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam),mengumumkan Idul Fitri
jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan
untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah
untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat
masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti
1427/ 2006 dan 1428/2007 , laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat
rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali
pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal .
Jadi, selama Muhammadiyah masih
bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu
dihantui adanya perbedaan hari raya
dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab
wujudul hilal itu? Banyak kalangan
di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu
sebagai simbol keunggulan hisab
mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan
dengan metode rukyat. Tentu saja
mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi
sesungguhnya tidak faham ilmu hisab,
seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang
Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke- 26 di Padang. Saya
diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”.
Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati.
Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak
punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’ i,
tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan
baca blog saya http:/ /tdjamaluddin. wordpress.com /2011/ 07/28/ hisab-
dan-rukyat -setara -astronomi- menguak-isyarat-lengkap- dalam-al -quran-tentang
-penentuan- awal-ramadhan- syawal-dan -dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi,
kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di
kalangan ahli falak.
Kita ketahui, metode penentuan
kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya
berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari
berubalang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa
kelompok kecil di Sumatera Barat dan
Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern) .
Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan
hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan ) yang akurasinya
masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya.
Kemudian untuk menghindari kerumitan
imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari
terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan
terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub
dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau
negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi
untuk kalender Ummul Quro-nya . Kini para pembuat kalender cenderung
menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat.
Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan
perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal
juga sangat mudah diakses secara online di internet.
Muhammdiyah yang tampaknya terlalu
ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan
(kebekuan pemikiran) dalam ilmu
falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya.
Mereka cukup puas dengan wujudul
hilal , kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka
mematikan tajdid (pembaharuan ) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank
mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain
terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat,
termasuk kacamata,kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi
dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak
daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis
(Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab
Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang
mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab,
tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari
ijtimak qablal ghrub , imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah
Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.
Demi penyatuan ummat melalui
kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU ,
Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah
cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak
merata dikalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul
hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan
tajdid (pembaharuan ) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak
membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat
yang terkesan dihindari.
Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita
berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi
penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah
sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam
modern, tetapi kriteria kelendernya usang” . Semoga Muhammadiyah mau
berubah!
Alhamdulillah,mencerahkan. Saudara-saudara Muhammadiyah, yuk berbenah.
ReplyDeleteAllohuma ihdina ash-shirototho al-mustaqim, orang yang baik adalah orang yang biso rumongso bukan rumongso iso. mengklaim seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. itu adalah suatu kesombongan belaka. semoga Alloh memberikan ampunan terhadap orang-orang yang sombong dan memberikan hidayah-Nya, khususnya kepada jama'ah Muhammmadiyah, amiin.
ReplyDelete