• Gedung NU

    Pembangunan Gedung NU Ranting Kalilangkap direalisasikan.

  • MUSRAN NU Kalilangkap 2018

    Musyawarah Ranting ( Musran ) Nahdlatul Ulama Desa Kalilangkap untuk kepengurusan ranting NU masa khidmat 2018-2023 telah laksanakan hari ini Rabu tanggal 27 syawal 1439 H / 11 Juli 2018 H. bertempat di Gedung Lantai 2 SMP Ma’arif NU 01 Bumiayu.

  • BINTEK KARTANU

    Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Brebes mengadakan Bintek dan melaunching Sistem Informasi Strategis Nahdlatu Ulama (Sisnu) sekaligus Kartu Anggota Nahdlatul Ulama (KARTANU) wilayah Brebes Selatan.

  • Kajian Rutin Malam Kamis

    Kegiatan kajian rutin kitab kuning, kitab Riyadusholihin pengurus ranting NU Kalilangkap

  • Slide5

    Maulid Nabi 2017

  • Slide6

    Pengurus Muslimat dan fatayat NU Kalilangkap

  • Slide 7

    Khitanan Massal ranting NU Kalilangkap 2017

  • Slide 8

    Pembangunan Gedung NU ranting NU Kalilangkap

  • Slide 9

    Maulid Nabi tahun 2019

  • Slide 10

    Peletakan batu pertama pembangunan gedung NU

  • Maulid Nabi Muhammad Saw dan Khitanan Massal 2015

    Pengajian Maulid nabi Muhammad SAW dan Khitanan Massal pada hari kamis 25 Desember 2015, oleh Ranting NU, Muslimat NU, Fatayat NUdan GP Ansor berlangsung di KAR Legok.

Assalamualaikum Wr.Wb.

SELAMAT ATAS MUSRAN NU KALILANGKAP MASA KHIDMAT 2023-2028.....MEDIA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEGIATAN RANTING NU DAN BADAN OTONOM RANTING KALILANGKAP

20 December 2014

SYIIR NU --- HABIB SYECH

lirik Syair Nahdliyin (NU) - Habib Syech 
*Koor:
Sholatulloh salamulloh * 'ala thoha rosulillaah
Sholatulloh salamulloh * 'ala yaasiin habibillah
Tawasalna bibismillah * wabilhadi rosulillah
Wakulli muja hidillillah * bi ahlil badri ya alloh
Ilaahi sallimil 'ummah * minal afati wanniqmah
Wamin hammin wamin ummah * bi ahlil badri ya alloh
*Koor
Tahun 26 laire NU
Ijo-ijo benderane NU
Gambar jagad simbole NU
Bintang songo lambange NU
*Koor
Suriyah 'ulama'e NU
Tanfidziyah pelaksana NU
GP Anshor pemuda NU
Fatayat pemudi NU
*Koor
Nganggo usholli sholate NU
Adzan pindo jum'atane NU
Nganggo qunut subuhane NU
Dzikir bareng amalane NU
*Koor
Tahlilan hadiahe NU
Manaqiban washilahe NU
Wiridan rutinane NU
Maulidan sholawatane NU
*Koor
(kadang ditambahin syair ini juga)
Repote dadi pedagang
Sholate digawe gampang
Opo meneh dagangane laris
Durung sholat ngakune uwis
Repote dadi petani
Sholate terkadang lali
Opo meneh wayahe tandur
Sholate diundur-undur
Repote wong nggarap sawah
Sholate sawayah-wayah
Opo meneh wayahe panen
Sholate ora tau kopen
Repote dadi pejabat
Sholate terkadang telat
Opo meneh wayahe rapat
Sholate diloncat-loncat
*Koor 
SHOLAATULLOH SALAMULLOH 'ALAA THOHA ROSULILLAH
SHOLAATULLOH SALAMULLOH 'ALAA YAASIIN HABIBILLAH
Share:

BIOGRAFI HADRATUSYEIKH KH HASYIM ASY'ARI

 Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.





Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang berkedudukan baik dan mulia. KHM. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI.

Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.

Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926, KHM. Hasyim Asy’ari bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah serta para ulama yang lain mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.

KHM. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KHM. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi “pabrik” pencetak kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang “dibikin” di Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu merupakan alumnus Tebuireng.

Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah heran bila kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai yang gigih mempertahankan madzhab, yang akhirnya berada dalam satu barisan “Nahdlatul Ulama”, semua itu dapat dipahami sebagai hasil pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan yang cukup panjang.

Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.

Karena sikap dan sifat kepahlawanan serta keulamaannya, maka tidak henti-hentinya pemerintah kolonial berusaha membujuknya. Pada tahun 1937 misalnya, pernah datang kepada beliau seorang amtenar utusan Hindia Belanda bermaksud memberikan tanda jasa berupa “bintang” terbuat dari perak dan emas. Tetapi Kiai Hasyim menolak, dan kemudian beliau bergegas mengumpulkan para santrinya dan berkata :

“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat; pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh pamannya, Abu Thalib, dan diberitahu bahwasannya pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad SAW: kedudukan yang tinggi, harta benda yang berlimpah dan gadis yang cantik. Akan tetapi, Baginda Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu, dan berkata di hadapan pamannya, Abu Thalib: ‘Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata di mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban’. Maka kamu sekalian anakku, hendaknya dapat mencontoh Baginda Muhammad SAW dalam menghadapi segala persoalan….”.

Sikap seperti itu terulang pada saat Jepang berkuasa. Kedatangan Jepang disertai kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu mnghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika” dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo, yang harus dilakukan oleh seluruh penduduk dengan cara berbaris setiap pagi sekitar jam 07.00 WIB tanpa kecuali baik itu anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. KHM. Asy’ari menentangnya.

Melakukan ‘saikerei’ menurut pandangan para ulama adalah ‘haram’ dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat, yang hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Selain Allah, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit, haramlah diberi hormat dalam bentuk ‘sakerei’ yang menyerupai ruku itu.

Akibat penolakkanya itu, pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara Bubutan, Surabaya.

Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.

Pada bulan Oktober 1943, ketika NU dan Muhammadiyah bersepakat membentuk organisasi gabungan menggantikan MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) dan diberi nama MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang non politik, pimpinan tertingginya dipercayakan kepada KHM. Hasyim Asy’ari. Dan pada tahun 1944 beliau diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat Urusan Agama).

Pada masa-masa akhir pemerintahan Jepang di Indonesia, Masyumi berhasil membujuk Jepang untuk melatih pemuda-pemuda Islam khususnya para santri dengan latihan kemiliteran yang kemudian diberi nama Hizbullah. Tanda anggota Hizbullah ditandatangani oleh KHM. Hasyim Asy’ari.

Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KHM. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.


Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
Share:

SEPENGGAL KISAH KH SUBHAN ZE

Sosok Subchan dikenal sebagai politisi cum intelektual Nahdlatul Ulama yang berani melawan kekuasaan. Namanya melejit setelah tragedi 1965.
unjungan Subchan Zaenuri Echsan ke Yogyakarta itu meninggalkan kesan spesial bagi anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU). Terjadi sekitar 1965, tokoh NU itu memaparkan pandangannya tentang konsep ekonomi baru di depan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yogyakarta. “Dia membawa konsep ekonomi alternatif. Waktu itu belum ada orang NU yang bisa berbicara ekonomi sefasih Subchan,” ujar Profesor Umar Basalim, mantan Rektor Universitas Nasional, yang kala itu termasuk salah satu anak muda NU tersebut, kepada Prioritas, Senin dua pekan lalu.
Kepakaran Subchan dalam pemikiran ekonomi, kata Umar, karena disokong bahan bacaan yang banyak. Dia juga rutin berlangganan Time, Newsweek, The Economist, serta jurnal-jurnal ekonomi dari Eropa Timur.
Ketika di awal Orde Baru, sekitar 1966, Subchan sempat membuat kelabakan dua ekonom lulusan Berkeley, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, dalam sebuah diskusi di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Subchan mengemukakan pemikiran ekonomi alternatif. Lantaran takjub, Mar’ie Muhammad, bekas Menteri Keuangan yang kala itu bertindak sebagai panitia penyelengara, menyandangkan gelar “Zarjana Ekonomi” untuk kepanjangan nama belakang Subchan ZE.
Selain piawai dalam berbagai diskusi, Subchan dikenal sebagai sosok pembangkang yang berani. Saat menjabat Senior Vice President dari Afro Asia Economic Coorporation (AFRASEC), 1960-1962, misalnya. Subchan pernah menggemparkan publik dengan mengeluarkan delegasi Rusia dari persidangan di Kairo. Pulang dari Kairo, Subchan ditahan.
Dikabarkan pula, suatu ketika Subchan pernah bertemu Bung Karno. Proklamator itu bertanya tentang aktivitasnya ikut demontrasi. “Tidak, tidak saya tidak ikut demonstrasi tapi saya yang memimpin demonstrasi,” ujar Subchan ketika itu, seperti terungkap dalam buku Subchan ZE : Sang Maestro Politisi Intelektual dari Kalangan NU Modern (Pustaka Indonesia Satu, 2001), yang disunting Arief Mudatsir Mandan.
Subchan dibesarkan di tengah keluarga santri kaya di Kudus. Di usia 14 tahun, Subchan sudah diserahi tugas memimpin pabrik rokok cap “Kucing” di Kudus milik ayah angkatnya H. Zaenuri Echsan, seorang pengusaha rokok kretek. Setelah berhasil di sana, ia pindah ke Jakarta. Di Ibu Kota, Subchan sukses mengendalikan jejaring bisnis 28 perusahaannya. Bahkan, dia dikabarkan memiliki pesawat pribadi, yang jarang dimiliki konglomerat di zaman itu.
Tokoh pemuda NU Subchan memegang senjata di ruang kerjanya, 1966.
Sedari muda, Subchan telah berperan dalam lingkungan sosial sehingga menjadi tokoh nasional yang disegani. Pada masa revolusi fisik, pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 29 Januari 1929 ini, sudah tergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di bawah pimpinan Bung Tomo. Anak keempat dari 13 bersaudara ini, mulai bergabung ke NU pada 1950-an di lembaga pendidikan NU, Ma’arif, di Semarang, Jawa Tengah. Putra pasangan H. Rochlan Ismail dan Hj. Siti Masnichah itu, kemudian menjadi kepala sekolah menengah Islam di Semarang.
Meski menekuni dunia pendidikan, Subchan tak punya gelar sarjana. Dia hanya sempat belajar sebentar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Itu pun, hanya sebagai mahasiswa pendengar. Namun, menurut Umar, sekretaris politik Subchan pada 1967-1973, Subchan merupakan pembelajar otodidak. Dia juga menguasai bahasa asing, khususnya bahasa Belanda dan Inggris. Karena kemampuan bahasa itu, kata Umar, Subchan sempat memperoleh leadership grant selama setahun (1961-1962) untuk mengikuti Course Program Economic Development di University of California Los Angeles (UCLA), dari Pemerintah Amerika Serikat.
Nama Subchan melejit sebagai tokoh nasional ketika Gerakan 30 September meletus pada 1965. “Tokoh sipil terdepan pak Subchan. Boleh dibilang pada 1965 itu mirip seperti Gus Dur atau Amien Rais ketika memimpin gerakan Reformasi 1998,” kata tokoh Nahdlatul Ulama KH Salahuddin Wahid kepada Prioritas. Setelah kegagalan kup itu, Subchan mempelopori pembentukan Ketua Aksi Pengganyangan Gestapu/ Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi itu merupakan gabungan dari tujuh partai politik, tiga organisasi massa dan 130 organisasi lainnya.
Ketika masa transisi ke Orde Baru itu, menurut Gus Solah, panggilan akrab Salahuddin Wahid, anak-anak muda aktivis menjadikan Subchan sebagai tokoh idolanya. Rumah Subchan yang berada di Jalan Banyumas 4, Menteng, Jakarta Pusat, menjadi salah satu markas anakanak muda melawan komunis. Dari rumah itu, disusun rencana aksi-aksi demonstrasi besar untuk menggoyang kekuasaan pemimpin revolusi Bung Karno.
Tokoh pemuda NU Subchan ZE 1966.
Sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Subchan ikut menandatangani keputusan peralihan kekuasan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Namun, hubungan mesra Subchan dengan Soeharto hanya bertahan lima tahun. Perlawanan Subchan kepada kekuasaan rezim Orde Baru, kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam, ditandai dengan terbitnya “Buku Putih MPR”, setelah pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilu 1971. Dalam buku itu disebutkan pemerintah Orde Baru tidak menegakkan demokrasi dan rule of law. “Buku Putih ini lalu dibakar militer,” ujar Asvi saat ditemui Prioritas di kantornya.
Asvi menyebutkan, Subchan pernah berkonfrontosi tajam dengan Jenderal Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri saat itu, menyangkut Pemilu 1971. Subchan melawan Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 1969 yang dikeluarkan Jenderal Amir. Peraturan itu memuat aturan bahwa semua pegawai negeri tidak boleh lagi berafiliasi dengan partai politik yang akan ikut Pemilu saat itu.
Ketika itu, konsepnya bernama monoloyalitas, yaitu pegawai negeri hanya boleh loyal kepada organisasi Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Komentar Subchan saat itu sangat keras. Dia menyebut bahwa itu bukan general election tapi election for general. “Dia melakukan perlawanan kepada Korpri yang menyatukan suara dari pegawai negeri untuk mendukung Golkar,” kata Asvi lagi.
Hingga kini, menurut Asvi, yang masih menjadi misteri dari Subchan adalah kematiannya. Subchan meninggal pada Ahad siang, 21 Januari 1973, di Tanah Suci Mekkah, karena kecelakaan lalu lintas. Sebelum wafat, Brian May, koresponden Kantor Berita Perancis Agence France-Presse (AFP) sempat mewawancarai Subchan.
Dalam wawancara itu, Subchan mengungkap tentang bisnis Soeharto dengan Ibnu Sutowo di Singapura. Saat musim haji, ketika Subchan mengalami kecelakaan, Jenderal Amir Machmud juga tengah berada di Tanah Suci.”Ini tetap janggal karena tidak ada investigasi pemerintah untuk mengusut kematiannya,” kata Asvi.
Gemar Berdansa
Penampilan Subchan Zaenuri Echsan yang cenderung flamboyan membuatnya kerap berseberangan dengan para kyai Nahdlatul Ulama (NU). “Subchan itu pergaulannya luas tapi cenderung bebas,” ujar tokoh Nahdlatul Ulama KH Salahuddin Wahid kepada Prioritas, beberapa waktu lalu.
Subchan pernah dipecat dua kali dari jabatannya sebagai Ketua I Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Pemecatan itu karena ditemukan sebuah foto yang menggambarkan Subchan sedang berdansa dengan seorang perempuan yang bukan muhrim di suatu tempat. “Di NU berdansa itu tidak bisa diterima,” ujar Gus Solah, sapaan Salahuddin Wahid.
Cosmas Batu Bara, aktifis 66, pernah melaksanakan pesta dansa bersama mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di penghujung tahun 1965. Cosmas menilai, Subchan merupakan pedansa yang baik dan sopan sekali dalam mengajak mahasiswa untuk berdansa. Comas pernah menanyakan kepada Subchan, “Apakah tidak dilarang seorang tokoh Islam untuk berdansa.” Ketika itu, Subchan menjawab, “Saya kan masih lajang, dengan demikian saya bebas saja berdansa dengan wanita manapun.”
Meski Subchan suka berdansa, kata Umar Basalim, mantan Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai orang NU amalan agamanya sangat kuat sehingga KH Ali Ma’shum Krapyak, Yogyakarta, membela Subchan yang dipecat. “Kalau wiridan itu bisa panjang. Di mobil dia wiridan dengan bacaan khusus,” kata Umar.

See more at: http://www.prioritasnews.com/2012/10/29/tokoh-nahdliyin-yang-flamboyan/#sthash.tEKlE3cb.dpuf
Share:

DAPODIK SMP MA'ARIF NU 01 BUMIAYU

yang mau melihat kondisi Dapodik SMP Ma'arif NU 01 Bumiayu Kabupaten Brebes silakan klik disini
Share:

Majalah AULA

SIPNU

Blog Archive