• Gedung NU

    Pembangunan Gedung NU Ranting Kalilangkap direalisasikan.

  • MUSRAN NU Kalilangkap 2018

    Musyawarah Ranting ( Musran ) Nahdlatul Ulama Desa Kalilangkap untuk kepengurusan ranting NU masa khidmat 2018-2023 telah laksanakan hari ini Rabu tanggal 27 syawal 1439 H / 11 Juli 2018 H. bertempat di Gedung Lantai 2 SMP Ma’arif NU 01 Bumiayu.

  • BINTEK KARTANU

    Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Brebes mengadakan Bintek dan melaunching Sistem Informasi Strategis Nahdlatu Ulama (Sisnu) sekaligus Kartu Anggota Nahdlatul Ulama (KARTANU) wilayah Brebes Selatan.

  • Kajian Rutin Malam Kamis

    Kegiatan kajian rutin kitab kuning, kitab Riyadusholihin pengurus ranting NU Kalilangkap

  • Slide5

    Maulid Nabi 2017

  • Slide6

    Pengurus Muslimat dan fatayat NU Kalilangkap

  • Slide 7

    Khitanan Massal ranting NU Kalilangkap 2017

  • Slide 8

    Pembangunan Gedung NU ranting NU Kalilangkap

  • Slide 9

    Maulid Nabi tahun 2019

  • Slide 10

    Peletakan batu pertama pembangunan gedung NU

  • Maulid Nabi Muhammad Saw dan Khitanan Massal 2015

    Pengajian Maulid nabi Muhammad SAW dan Khitanan Massal pada hari kamis 25 Desember 2015, oleh Ranting NU, Muslimat NU, Fatayat NUdan GP Ansor berlangsung di KAR Legok.

Assalamualaikum Wr.Wb.

SELAMAT ATAS MUSRAN NU KALILANGKAP MASA KHIDMAT 2023-2028.....MEDIA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEGIATAN RANTING NU DAN BADAN OTONOM RANTING KALILANGKAP

30 August 2013

ADA APA DENGAN WAHABI

Untuk warga Nahdliyiin khususnya dan umat Islam umumnya, dipersilakan membaca artikel singkat mengapa wahabi dianggap berbahaya bagi Islam, silakan KLIK
Share:

18 August 2013

ISTILAH "KITAB KUNING"



Istilah kitab kuning sudah tidak asing lagi bagi para santri dan kiai yang pernah mengeyam pendidikan di pesantren terutama pesantren yang ada nilai kesalafannya. Kitab tersebut sudah diajarkan sejak zaman dahulu oleh pendiri-pendiri Islam di Indonesia. Kitab kuning adalah sebuah istilah yang disematkan kepada kitab-kitab yang berbahasa Arab, yang biasa digunakan oleh beberapa pesantren atau madrasah Diniyah sebagai bahan pelajaran. Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning.
Sebenarnya warna kuning itu hanya suatu kebetulan saja, lantaran zaman dahulu barang kali belum ada jenis kertas seperti zaman sekarang yang putih warnanya. Mungkin di masa lalu yang tersedia memang itu saja. Juga dicetak dengan alat cetak sederhana, dengan tata letak dan lay-out yang monoton, kaku dan cenderung kurang nyaman dibaca. Bahkan kitab-kitab itu seringkali tidak dijilid, melainkan hanya dilipat saja dan diberi cover dengan kertas yang lebih tebal (kurasan).
Untuk sekarang, kitab-kitab tersebut sudah banyak yang dicetak dengan memakai kertas  putih dan dijilid dengan rapi. Penampilannya tidak kalah menariknya dengan penampilan buku-buku yang selain memakai bahasa Arab, seperti kitab-kitab yang dicetak dari percetakan Dar al Kotob Al Ilmiyah, Beirut Lebanon dan Al Haramain Surabaya.
Kitab baru yang sudah masuk dalam kategori kitab kuning contohnya "Fiqhul Islam" terbitan 1995. Sedangkan kitab kuning tulisan ulama Indonesia di antaranya kitab "Sirojul Tholibbin". Kitab yang memperjelas kitab "Minhajul Abidin" karya Imam al-Ghazali itu ditulis Syaikh Ikhsan dari Pondok Pesantren Jampes, Kediri. "Sirojul Tholibbin" hingga kini menjadi bacaan wajib di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Contoh kitab kuning dari ulama Indonesia lainnya adalah kitab "Sullamut Taufiq" karya Imam Nawawi dari Banten, yang bertarikh 1358 (Majalah Tempo Interaktif, 2009).

Istilah kitab kuning  bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah ciri khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharakat, bahkan tidak ada tanda baca dan maknanya sama sekali. Tidak seperti layaknya kitab-kitab sekarang yang sudah banyak diberi makna dan harakat sampai catatan pinggirnya.

Istilah “kitab kuno”  juga sebutan lain untuk kitab kuning. Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya penulisannya kini jarang lagi digunakan kecuali di pesantren yang masih kental dengan nilai-nilai kesalafan seperti pondok Lirboyo, Sarang dan Ploso.
Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada yang menyebutnya dengan sebutan “kitab klasik” (al-kutub al-qadimah). Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.

Untuk lebih detail lagi, kitab kuning dapat didefinisikan dengan tiga pengertian: Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing. Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya (Rifqi, 2012).

Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kutub al-‘ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca(punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Dalam perkembangannya, istilah  kitab kuning yang sudah mendarah daging untuk kalangan pesantren salaf telah dibuat plesetan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab dengan dikonotasikan sebagai idiom atas kotoran yang berwarna kuning (Intelektual Pesantren, 2003). Statemen ini jelas sangat menghina para kiai dan santri serta menghina nilai-nilai yang tertera di dalam kitab tersebut.
Menanggapi masalah istilah kitab kuning, KH Maimoen Zubair,  pengasuh Pesantren Al Anwar dan juga mudir ‘Am majalah At Turast (majalah pegon di Yogyakarta) mempunyai pemikiran yang cemerlang. Menurutnya, kuning yang ada dalam istilah kitab kuning itu diambil dari kata Arab “ashfar” yang mempunyai arti kosong. Jadi, kalau seseorang ingin menjadi kiai atau ulama yang alim dalam masalah agama, dia harus bisa membaca kitab dengan kosong, tanpa memakai makna gandul (makna pegon ditulis miring) dan harakat (22/09/2012).
Untuk mencapai derajat kiai yang alim seperti yang telah dikemukakan oleh KH. Maimoen Zubair tadi, tentunya seseorang harus belajar dengan tekun untuk memahami Gramatika Arab, seperti kitab Al Jurumiyah (karya Syaikh Muhammad As Sonhaji), Al Imrithi (karya Syaikh Sarifudin Yahya) dan Alfiyah (karya Syaikh Muhammad Jamaludin bin Malik). Di dalam tiga kitab ini memuat kaidah-kaidah yang dapat mengantarkan kita untuk memahami kitab kuning. Ujungnya, kita akan memahami sumber pokok hukum Islam, al-Quran dan al-Hadist.
(Dikutip dari  www.nu.or.idRabu, 24/10/2012 )
*Penulis Adalah aktivis Ma’had Aly Al Anwar dan ketua Website PP. Al Anwar Sarang Rembang Jateng asal Pati.
Share:

13 August 2013

TENTANG ASSET NU



Surabaya, NU Online
Tidak terhitung berapa aset yang awalnya diberikan atas nama Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya berujung sengketa. Sekolah, masjid dan mushalla, rumah sakit, serta fasilitas umat yang lain akhirnya berpindah kepemilikan.

Padahal saat awal pendirian, dengan sangat ikhlash sejumlah aset itu diperuntukkan bagi kegiatan umat dan organisasi. Namun seiring berjalannya waktu, sejumlah aset akhirnya dikuasai perseorangan.

Keprihatinan ini disampaikan Saiful Munir kepada NU Online, Sabtu (10/8). Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Wakaf dan Pertanahan PWNU Jawa Timur periode lalu ini tidak sedikit harus turun gunung menyelesaikan sengketa kepemilikan. “Ada yang berhasil diselamatkan, namun tidak sedikit yang akhirnya harus diikhlaskan untuk berpindah kepemilikan,” katanya.

Karena itu, hal mendesak yang harus dilakukan adalah mengatasnamakan seluruh aset yang ada dengan berbadah hukum NU. “Ini akan lebih memberikan kepastian ketika terjadi hal yang tidak diinginkan di belakang hari,” terangnya.

Beberapa langkah nyata telah dilakukan saat ia menjabat sebagai Ketua PW Lembaga Wakaf dan Pertanahan NU Jawa Timur. “Beberapa waktu lalu kami telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur,” kata Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia Jawa Timur ini.

Dengan MoU atau Memorandum of Understanding ini, sejumlah Kepala BTN di tingkat Kota dan Kabupaten se Jawa Timur bisa memproses sertivikat aset dengan lebih cepat dan murah. “Ini  kesempatan langka dan harus ditindaklanjuti,” katanya.

Sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Timur telah meneruskan hal ini. “Gresik, Mojokerto, Banyuwangi sudah beres,” katanya. “Dan sejumlah kota lain akan segera menyusul,” lanjutnya.

Hanya saja ikhtiar ini belum menjadi kebulatan tekad khususnya di kepengurusan NU level yang lebih tinggi. “Kita berharap PBNU dapat mengawali dengan memberikan contoh bagaimana sebuah lembaga, tempat ibadah atau kantor serta aset NU yang diatasnamakan jam’iyah ini,” harapnya.

Karena dalam pandangannya, keengganan beberapa lembaga, unit usaha serta layanan masyarakat yang telah eksis masih menerka-nerka dan adanya kekhawatiran justru akan menjadi petaka di kemudian hari.

Sejumlah kampus atau rumah sakit sudah bernama NU, namun masih berada dibawah yayasan tertentu. “Mengapa tidak diatasnamakan NU?” katanya balik bertanya.

“Kita bisa belajar dari banyak organisasi lain yang telah berhasil melakukan sertifikasi beberapa aset yang dimiliki sehingga hasil dari jenis usaha yang ada bisa dioptimalkan untuk kemajuan organisasinya,” tandas Ketua Bidang Perwakafan Dewan Masjid Indonesia Jawa Timur ini.

Baginya, ada banyak manfaat yang akan diraih dari penyeragaman sertifikasi tersebut. “Yang paling penting adalah seluruh aset tersebut bisa termonitor secara lebih optimal,” katanya. “Demikian pula yang tidak kalah berharga adalah bisa menyelamatan aset organiasai,” pungkasnya.

Selasa, 13/08/2013 10:4,nu.or.id

Redaktur    : A. Khoirul Anam
Kontributor: Syaifullah
Share:

04 August 2013

FOTO PEMASANGAN PAPAN NAMA NU

Akhirnya hari-hari yang dinantikan oleh warga Nahdliyyin pun tiba,  pada hari ahad, tgl 26 Ramadhan 1434 H atau 4 Agustus 2013 setelah salat asar, papan nama Ranting NU Kalilangkap secarar resmi dipasang.




Share:

TENTANG RUKYATUL HILAL


Selasa, 09/07/2013 07:07
Metodologi penentuan awal bulan qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (ru'yatul hilal bil fi'ly). Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab) dipakai untuk membantu prosesi rukyat.
Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun dasar hukumnya antara lain:a. Hadist muttafaq alaihi(diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang berbunyi:

 حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
"Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354) 

Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" (rukyatul hilal) sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada.

b. Kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Sebagaimana dalam hadits: 

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
"Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok." (HR Abu Daud 283/6)

c.Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan:

وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
"Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi Barat".

Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian Timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di Barat.

d. Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan:

َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ

"Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini" 

e. Dalam kita Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan: 

أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ 
"Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua, yang pertama: terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang sudah tersebar luas."

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya rukyah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf matholi').

f. Bughyatul Mustarsyidin

لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ
Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari.

g. Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur

قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ

Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: “Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.”  (Red: Ulil H.) Dikutip dari www.nu.or.id
Share:

Majalah AULA

SIPNU

Blog Archive