• Gedung NU

    Pembangunan Gedung NU Ranting Kalilangkap direalisasikan.

  • MUSRAN NU Kalilangkap 2018

    Musyawarah Ranting ( Musran ) Nahdlatul Ulama Desa Kalilangkap untuk kepengurusan ranting NU masa khidmat 2018-2023 telah laksanakan hari ini Rabu tanggal 27 syawal 1439 H / 11 Juli 2018 H. bertempat di Gedung Lantai 2 SMP Ma’arif NU 01 Bumiayu.

  • BINTEK KARTANU

    Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Brebes mengadakan Bintek dan melaunching Sistem Informasi Strategis Nahdlatu Ulama (Sisnu) sekaligus Kartu Anggota Nahdlatul Ulama (KARTANU) wilayah Brebes Selatan.

  • Kajian Rutin Malam Kamis

    Kegiatan kajian rutin kitab kuning, kitab Riyadusholihin pengurus ranting NU Kalilangkap

  • Slide5

    Maulid Nabi 2017

  • Slide6

    Pengurus Muslimat dan fatayat NU Kalilangkap

  • Slide 7

    Khitanan Massal ranting NU Kalilangkap 2017

  • Slide 8

    Pembangunan Gedung NU ranting NU Kalilangkap

  • Slide 9

    Maulid Nabi tahun 2019

  • Slide 10

    Peletakan batu pertama pembangunan gedung NU

  • Maulid Nabi Muhammad Saw dan Khitanan Massal 2015

    Pengajian Maulid nabi Muhammad SAW dan Khitanan Massal pada hari kamis 25 Desember 2015, oleh Ranting NU, Muslimat NU, Fatayat NUdan GP Ansor berlangsung di KAR Legok.

Assalamualaikum Wr.Wb.

SELAMAT ATAS MUSRAN NU KALILANGKAP MASA KHIDMAT 2023-2028.....MEDIA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEGIATAN RANTING NU DAN BADAN OTONOM RANTING KALILANGKAP

29 June 2013

BIOGRAFI KH ABDUL WAHAB CHASBULLAH



KIAI WAHAB HASBULLAH, PAHLAWAN TANPA GELAR
KIAI HAJI WAHAB HASBULLAH adalah seorang tokoh pergerakan dari pesantren. Ia dilahirkan di Tambakberas-Jombang, tahun 1888. Sebagai seorang santri yang berjiwa aktivis, ia tidak bisa berhenti beraktivitas, apalagi melihat rakyat Indonesia yang terjajah, hidup dalam kesengsaraan, lahir dan batin.
Sepulang dari Mekkah 1914, Wahab, tidak hanya mengasuh pesantrennya di Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia tidak tega melihat kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan serta keterbelakanagan yang diakibatkan oleh penindasan dan pengisapan penjajah.

Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 ia mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathon (kebangkita negeri), tujuannya untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia.
Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Kiai Hasyim Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara Kiai Wahab menjadi Sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah Kiai Bisri Syansuri.

Mencermati perkembangan dunia yang semakin kompleks, maka pada tahun 1919, Kiai Wahab mendirikan Taswirul Afkar. Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan itu muncul persoalan baru di dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dari Najed, Arab Pedalaman yang menguasai Hijaz tempat suci Mekah dikuasai tahun 1924 dan menaklukkan Madinah 1925.

Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu aliran, yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah suci itu, tidak diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di tanah Suci. Anehnya, kelompok modernis Indonesia setuju dengan paham Wahabi.

Lantas, Kiai Wahab membuat kepanitiaan beranggotakan para ulama pesantren, dengan nama Komite Hejaz. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.

Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar, maka dibentuklah organisai yanag diberinama Nahdlatul Ulama, 31 Januari 1926. KH Wahab Hasbullah bersama Syekh Ghonaim al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud.
Usaha ini direspon baik oleh raja Abdul Aziz. Beberapa hal penting hasil dari Komite Hejaz ini di antaranya adalah, makam Nabi Muhammad dan situs-itus sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum boleh mengajar dan memimpin di Haramain.

KIAI WAHAB HASBULLAH dengan segala aktivitasnya adalah untuk menegakkan ajaran ahlussunnah wal jamaah yang sudah dirintis oleh walisongo dan para ulama sesudahnya.

Ia tidak hanya penerus, tetapi memiliki pertalian darah dengan para penyebar Islam di Tanah Jawa itu. Bahkan Kiai Wahab juga mengidentifikasi diri sebagai penerus perjuangan pangeran diponegoro. Karena itu ia selalu memakai sorban yang ia sebut sendiri sebagai sorban Diponegoro.

Dengan sorban itu, ia makin percaya diri. Dalam upacara keagamaan sampai dengan acara kenegaraan, Kiai Wahab selalu melingkarkan sorban tersebut, hingga pundaknya tertutup. Demikian juga dengan sarung, tidak pernah diganti dengan pantolan.

Ia telah melampaui segala protokoler kenegaraan yang ada, karena telah memiliki disiplin dan karakter keulamaan sendiri. Selain itu, ia memang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi sehingga tidak takut menghadapi musuh sesakti apapun.

Kemenonjolan peran Wahab Hasbullah ini berkat kematangannya dalam menempa dirinya sebagai seorang ulama pergerakan. Sifat keulamaannya digembleng di pesaanatren Langitan  Tuban, Pesantren Tawangsari Surabaya.
Kemudian ia melanjutkan lagi ke Pesantren Bangkalan Madura. Di pesantren asuhan Syaikh Kholil inilah, ia bertemua dengan Kiai Bisri Syansuri, ulama dari Pati yang kelak menjadi sahabat seperjuangannya, juga iparnya. Pertemanannya Kiai Wahab dengan Kiai Bisri ini memiliki pengaruh terhadap perkembangan NU. Selanjutnya, Kiai Wahab ke Pesantren  Mojosari Nganjuk dan menyempatkan diri nyantri di Tebuireng Jombang.

Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, ia belajar ke Mekkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di sana seperti Syekh Machfudz Termas dan Syekh Ahmad Khotib dari tanah Minang. Selain, belajar agama saat di Mekkah itu, ia juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.

Selama masa pembentukan NU, Kiai Wahab selalu tampil di depan. Di manapun muktamar NU diselenggarakan sejak yang pertama kalinya yaitu di Surabaya, kemudian hingga ke Bandung, Menes Banten, Banjarmasin, kemudian Palembang hingga Medan, ia selalu hadir dan memimpin. Sehingga pengalamannya tentang organiasi ini cukup mendalam. Karena itu, Kiai Wahab selalu cermat dan tegas dalam mengambil keputusan.

Dalam menghadapi berbagai kesulitan, terutama dalam hubungannya dengan pemerintah kolonial, ia selalu mampu mengatasinya. Misalanya, ia harus berhadap dengan para residen gubernur atau menteri urusan pribumi. Kemampuan lobi dan diplomasi membuat semua urusan bisa lancar, sehingga NU mampu mengatasi berbagai macam jebakan dan hambatan kolonial.
Dan, Kiai Wahab juga memiliki keistimewaan, yang tidak banyak ada pada orang lain, yakni kemampuan melempar humor, khususnya jenis plesetan, sebagai alat diplomasi.
Suatu hari, ketika Nusantara masih dalam cengkraman Belanda, Kiai Wahab berpidato di hadapan kiai-kiai dan ratusan santri.
“Wahai Saudara-saudaraku kaum pesantren, baik yang sudah sepuh, yang disebut Kiai, ataupun yang masih muda-muda, yang dikenal dengan sebutan Santri. Jangan sekali-sekali terbersit, apalagi bercita-cita sebagai Ambtenaar (pegawai Belanda)!” Begitu suara Kiai Wahab berapi-api.
“Mengapa kiai dan santri tidak boleh jadi Ambtenaar
Jawabannya tiada lain tiada bukan, karena Ambtenaar itu singkatan dari Antum fin Nar. Tidak usah berhujah susah-susah tentang Ambtenaar, artinya ya tadi, ‘kalian di neraka’ tititk,” jelas Kiai Wahab. Para kiai dan santri yang hadir tertawa dan tepuk tangan.

Lain waktu, semasa penjajahan Jepang, Kiai Wahab menghadapi para kiai yang belum paham cara berpolitik dengan Jepang. Para kiai itu tidak bersedia menjadi anggota Jawa Hokokai, semacam perhimpunan rakyat Jawa untuk mendukung Jepang.
“Para Kiai tidak susah-susah mencari dalil menjadi anggota Jawa Hokokai. Masuk saja dulu. Tenang saja, di dalam badan tersebut ada Bung Karno. Beliau tidak mungkin mencelakakan bangsa sendiri,” Kiai Wahab mulai merayu para kyai.
“Tapi Kiai, apa artinya Jawa Hokokai itu?” Tanya seorang kyai.
“Lho, Sampean belum tahu ya, Jawa Hokokai itu artinya Jawa Haqqu Kiai,” jelas Kiai Wahab singkat.
“Ooo... Jadi Jawa Hokokai itu artinya Jawa milik para kiai. Ya sudah, mari, jangan ragu masuk Jawa Hokokai,” ujar kiai tadi merespon.

NAMUN DEMIKIAN, salahlah kita jika hanya menilai Kiai Wahab sebagai kiai politisi saja. Salah, karena ia sesungguhnya adalah  seorang ulama tauhid dan juga fiqih yag sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan ilmunya itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip fiqih dalam kehidupan modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih siyasah.

Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah Wal Jama'ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah wal jamaah di lingkungan NU.
Dalam tiap bahtsul masail muktamr NU, ia selalu memberikan pandangannya yang mamapu menerobos berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang dihadapi ulama lain.
Kiai Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat umum. Karena itu dirintis beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya.
Ia sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus sebagai penulisnya. Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat strategis dalam mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh relevansinya ketika KH Machfudz Siddiq dan KH Wahd Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.

Demikian juga dalam menghadapi zaman Jepang yang sulit, terutama ketika penjajah itu itu pada tahun 1942 menangkapi para tokoh NU, maka Kiai Wahab dengan segala pikiran dan tenaganya menghadapi penjajah Jepang. Ia gigih menjadi tim pembebasan, mulai dari membebaskan KH Hasyim Asyari, KH Mahfud Shiddiq, juga ulama NU lainnya baik di Jawa Timur hingga ke Jawa Tengah tanpa kenal lelah.

Masa menjelang kemerdekaan dan dalam mempertahankan kemerdekaan aktif di medan tempur dengan memimpin organaisasi Barisan Kiai, organisasai yang secara diam-diam menopang Hisbullah dan Sabilillah.

Sepeninggal KH Hasyim Asy’ari (Ramadan, 1947), kepepimpinan NU Sepenuhnya berada di pundak Kiai Wahab.

Dalam menghadapi perjanjian dengan Belanda, baik perjanjian Renville, Linggarjati maupun KMB, yang penuh ketidakadilan itu, Kiai Wahab memimpin di depan melawan perjanjian itu. Akhirnya semua perjanjian yang tidak adil itu dibatalkana secara sepihak oleh Indonesia.

Masa paling menentukan adalah ketika NU mulai dicurangi oleh dalam Masyumi dengan tidak diberi kewenangan apapun. Usaha perbaikan oleh Kiai Wahab tidak pernah digubris oleh dewan partai, padahal NU sebagai anggota Istimewa.

Selain itu hanya diberi jatah menteri Agama, itu pun kemudian dirampasnya juga. Apalagi Masyumi mulai melakukan tindakan subversif sepert memberi simpati pada Darul Islam (DI) dan bahkan melakukan perjanjian gelap dengan Mutuasl Security Act (MSA) yang menyeret Indoonesia ke Blok Barat Amerika. NU merasa semakin tidak kerasan di Masyumi.

Ketika Kiai Wahab hendak mendirikan partai sendiri, tidak semua kalangan NU menyetujuinya, apalagi kalangan Masyumi menuduh NU berupaya memecah-belah persatuan umat Islam. NU juga diledek bahwa tidak memiliki banyak ahli politik, ekonomi, ahli hukum dan sebagainya.

Atas semua itu, dengan enteng Kiai Wahab menjawab:
“Kalau saya mau beli mobil, si penjual tidak akan bertanya apakah saudara bisa menyupir. Kalau dia bertanya juga, saya akan membuat pengumuman butuh seorang supir. Saat itu juga, para calon supir akan segera mengantri di depan rumah saya.”

Ketika kalangan ulama NU yang lain masih ragu, dengan tegas Kiai Wahab mengatakan, ”Silakan Sudara tetap di Masyumi, saya akan sendirian mendirikan Partai NU dan hanya butuh seorang sekretaris. Insya Allah NU akan menjadi partai besar.

Melihat kesungguhan itu akhirnya, semua kiai, termasuk Kiai Abdul Wahid Hasyim  sangat terharu, sehingga diputuskan untuk menjadi partai  sendiri.

Dalam Pemilu 1955, perkiraan Kiai Wahab terbukti, NU menjadi partai terbesar ketiga. Dari situ NU mendapat 45 kursi di DPR dan 91 kursi di Konstituante serta memperoleh delapan kementerian. Berkat kepemimpina Kiai Wahab itu, NU menjadi partai politik yang sangat berpengaruh.

Dalam mempimpin keseluruhan drama pilitik nasional, bagi NU, Kiai Wahab adalah pengambil keputusan yang sangat menentukan. Sebab itu, perintahnya sangat dipatuhi sejak dari pengurus pusat hingga ke daerah. Bukan Karena otoriter. Tapi karena memang sangat menguasi kewilayahan dan menguasasi strategi gerakan. Karena itu pula, para kiai kiai sering kali menyebut tokoh kita ini “panglima tinggi”.

Tiap hari, Kiai Wahab keliling daerah, bermusyawarah, menyerap dan memberi informasi, mengarahkan hingga menyemangati para ulama dari Jawa hingga Sumatera, dari Madura hingga Kalimantan. Semuanya diongkosi dengan uang sendiri.

Bila ada di Jombang, tepatnya di Tambakberas, Kiai Wahab tidak pernah absen mengajar di pesantrennya, memberikan pengajian dari kampung ke kampung, dan memberikan brifing politik ada para santri senior, para pengurus NU setempat, hingga memberikan arahan pada pamong desa setempat. Kedekatan dengan rakyat itu yang mendorong militansi Kiai Wahab dalam menyuarakan aspirasi rakyat.  
Banyak yang meriwayatkan pula bahwa Kiai Wahab juga mempunyai kecenderungan hidup zuhud. Dari sekian banyak pesantren yang dikunjungi, tampaknya pengaruh Kiai Zainuddin Mojosari cukup kentara.

Pesantren Mojosari terdapat di pedalaman Nganjuk Jawa Timur. Kiai Zainuddin, pengasuh pesantren tersebut, masyhur sebagai sufi agung di tanah Jawa saat itu. Tradisi sufistik juga membuat pesantren ini menjadi sangat terbuka. Satu contoh, tiap akhir tahun para santri dibiarkan menyelenggarakan pentas seni, ludruk. Para santri main sendiri.
Untuk itu, beberapa bulan sebelum acara, para santri dengan rombongan masing-masing ada yang belajar ludruk ke Jombang, belajar Jatilan ke Tulungagung, belajar Ketoprak ke Madiun dan belajar wayang ke Solo dan sebagainya.   
Wahab muda adalah salah satu di antara mereka itu. Pendidikan keagamaan yang di berikan juga sangat terbuka. Para santri dipersilakan memakai madzhab pemikiran yang disukai, juga diajarkan memecahkan berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan secara lebih luwes dan toleran.

Sikap keagamaan Kiai Wahab akhirnya juga tumbuh dengan terbuka. Ia lebih maju dibanding para ulama yang lain, terutama dalam menerapkan fiqih, tampak lebih mengutamakan dalil rasional, ketimbang doktrinal.

Hal itu memungkinkan masa kepemimpinan Kiai Wahab dalam tubuh NU membuka wawasan yang luas bagi pengembangan pemikiran, kelembagaan dan ktangkasan dalam berpolitik. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan karib dan iparnya yang sekaligus menjadi wakilnya (Wakil Rais Am), yaitu KH Bisri Syansuri. Kiai Bisri adalah seorang faqih murni yang ketat dan disiplin, sehingga apapun yang berseberangan dengan prinsip yang dipegangi harus disingkirkan.

Kalau Kiai Wahab cenderung berpikiran inovasi dan kreasi, sementara Kiai Bisri berpegangan pada fiqih. Dengan latar belakang semacam itu tidak heran kalau Kiai Wahab Hasbullah denngan senang hati menerima kehadiran Lesbumi 1962, apalagi sebelumnya Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari menyetujui penggunaan alat-alat musik dalam acara-acara NU. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mengurangi rasa tenggang rasa dan keduanya tetap saling menghormati.

Karena kharisma dan kepemimpinannya yang belum tergantikan, muktamar NU 20-25 Desember 1971 di Surabaya, Kiai Wahab terpilih lagi sebagai Rais Aam, meski telah udzur. Namun, persis empat hari setelah muktamar, Allah memanggil Kiai Wahab, tepatnya tanggal 29 Desember 1971.

Kewibawaan Kiai Wahab di hadapan pengurus NU yang lain dan pengabdiannya yang total itu menyebabkan KH Saifudin Zuhri menjulukinya sebagai “NU dalam praktek”. Seluruh sikap dan tindakannya termasuk yang kontroversial sekalipun adalah mencerminkan perilaku NU yang tidak dianggap sebagai penyimpangan. Karena seluruh sikap dan tindakannya dilandasi iman, takwa, ilmu, akhlak serta pengabdian yang tulus.

Demikianlah, selintas pengabdian seorang Kiai Haji Wahab Hasubullah, pahlwan tanpa gelar kepahlawanan. (Abd. Mun'im DZ)
 Sumber:
- Majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama, No. 1 Tahun 1.
- Saifuddin Zuhri, Biografi KH. Wahab Hasbullah, Jombang, 1981
- Aboebakar Aceh, Sejarah Hidup KH Wahid Hasyimdan Karangan Tersiar, Diterbitkan Panitia Peringatan KH    Wahid Hasyim, Jakarta, 1957
( Dikutip dari http://www.nu.or.id, Jumat, 17/08/2012 06:06)
Share:

28 June 2013

BIOGRAFI HADRATUSYAEIKH KH HASYIM ASY'ARI



Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.

Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang berkedudukan baik dan mulia. KHM. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI.

Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.

Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926, KHM. Hasyim Asy’ari bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah serta para ulama yang lain mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.

KHM. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KHM. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi “pabrik” pencetak kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang “dibikin” di Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu merupakan alumnus Tebuireng.

Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah heran bila kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai yang gigih mempertahankan madzhab, yang akhirnya berada dalam satu barisan “Nahdlatul Ulama”, semua itu dapat dipahami sebagai hasil pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan yang cukup panjang.

Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.

Karena sikap dan sifat kepahlawanan serta keulamaannya, maka tidak henti-hentinya pemerintah kolonial berusaha membujuknya. Pada tahun 1937 misalnya, pernah datang kepada beliau seorang amtenar utusan Hindia Belanda bermaksud memberikan tanda jasa berupa “bintang” terbuat dari perak dan emas. Tetapi Kiai Hasyim menolak, dan kemudian beliau bergegas mengumpulkan para santrinya dan berkata :

“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat; pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh pamannya, Abu Thalib, dan diberitahu bahwasannya pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad SAW: kedudukan yang tinggi, harta benda yang berlimpah dan gadis yang cantik. Akan tetapi, Baginda Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu, dan berkata di hadapan pamannya, Abu Thalib: ‘Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata di mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban’. Maka kamu sekalian anakku, hendaknya dapat mencontoh Baginda Muhammad SAW dalam menghadapi segala persoalan….”.

Sikap seperti itu terulang pada saat Jepang berkuasa. Kedatangan Jepang disertai kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu mnghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika” dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo, yang harus dilakukan oleh seluruh penduduk dengan cara berbaris setiap pagi sekitar jam 07.00 WIB tanpa kecuali baik itu anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. KHM. Asy’ari menentangnya.

Melakukan ‘saikerei’ menurut pandangan para ulama adalah ‘haram’ dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat, yang hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Selain Allah, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit, haramlah diberi hormat dalam bentuk ‘sakerei’ yang menyerupai ruku itu.

Akibat penolakkanya itu, pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara Bubutan, Surabaya.

Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.

Pada bulan Oktober 1943, ketika NU dan Muhammadiyah bersepakat membentuk organisasi gabungan menggantikan MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) dan diberi nama MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang non politik, pimpinan tertingginya dipercayakan kepada KHM. Hasyim Asy’ari. Dan pada tahun 1944 beliau diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat Urusan Agama).

Pada masa-masa akhir pemerintahan Jepang di Indonesia, Masyumi berhasil membujuk Jepang untuk melatih pemuda-pemuda Islam khususnya para santri dengan latihan kemiliteran yang kemudian diberi nama Hizbullah. Tanda anggota Hizbullah ditandatangani oleh KHM. Hasyim Asy’ari.

Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KHM. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.

Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur
Share:

27 June 2013

KUMPULAN LIRIK MARS NU



HYMNE PELAJAR NU


Bersemilah-bersemila
Tunas-tunas NU
Tumbuhsubur-tumbuh subur
Di persada NU

Masa depan di tanganmu
Untuk meneruskan perjuangan
Mekar indah-mekar indah
Kau harapan NU

Kita bangu-kita bangun
Jiwa besar NU
Nan bertaqwa nan berjiwa
Islam ahlussunnah wal jama'ah

Bersemilah-bersemilah
Tunas-tunas NU
Tumbuhsubur-tumbuh subur
Di persada NU

Hari depan mengharapkan
Darma bakti akan kita abdikan
Bersemilah-bersemilah
Tunas-tunas NU......

---

MARS MUSLIMAT NU

Marilah kaum ibu muslimat
Nahdlatul Ulama dan setia
Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas
Menjadi pedoman utama
Demi agama, nusa, dan bangsa
Negara damai bahagia

**
Insyaflah hai kaum ibu
Bimbinglah putra-putrimu
Iman teguh, bijaksana
Muslimat Indonesia
X2

Majulah kaum ibu muslimat
Pengemban, pembawa amanat
Pendidik, pembina bunga bangsa
Menunaikan tugas mulia
Berilmu, beramal, dan berbakti
bertaqwa pada Ilahi



MARS GP ANSOR

Darah dan nyawa telah kuberikan
Syuhada rebah Allahu Akbar
Kini bebas rantai ikatan
Negara jaya Islam yang benar

Berkibar tinggi panji gerakan
Iman di dada patriot perkasa
Ansor maju satu barisan
Seribu rintangan patah semua

Tegakkan yang adil hancurkan yang dzalim
Makmur semua lenyap yang nista

Allahu Akbar – Allahu Akbar
Pajar baja gerakan kita
Bangkitlah bangkit putra pertiwi
Tiada gentar dada ke muka
Bela agama bangsa negeri


MARS BANSER

Izinkan ayah Izinkan ibu
Izinkan kami pergi berjuang
Dibawah kibaran bendera NU
Majulah ayo maju serba serbu (serbu)

Tidak kembali pulang
Sebelum kita yang menang
Walau darah menetes di medan perang
Demi agama ku rela berkorban
Maju ayo maju ayo terus maju
Singkirkanlah dia dia dia
Kikis habislah mereka
Musuh agama dan ulama


Wahai barisan Ansor serbaguna
Dimana engkau berada (disini)
Teruskanlah perjuangan
Demi agama ku rela berkorban




Fatayat Nahdlatul Ulama
Teladan pemudi utama
Berguna bagi nusa bangsa
Menjunjung tinggi agama

Fatayat Nahdlatul Ulama
Wanita berpribadi luhur
Setia, terampil, dan jujur
Menuju masyarakat adil makmur

**
Fatayat berasas Pancasila
Bersendi A-Quran dan Sunnah
Ahlussunnah wal jama’ah
Menuju ridho Allah
X2



MARS IPNU

Wahai pelajar Indonesia
Siapkanlah barisanmu
Bertekat bulat bersatu
Di bawah kibaran panji IPNU
Wahai pelajar islam yang setia
Kembangkanlah agamamu
Dalam Negara Indonesia
Tanah air yang ku cinta
Dengan berpedoman kita belajar
Berjuang serta bertakwa
Kita bina watak nusa dan bangsa
Tuk kejayaan masa depan
Bersatu wahai pelajar islam jaya
Tunaikanlah kewajiban yang mulya
Ayo maju pantang mundur
Dengan rahmat tuhan kita perjuangkan
Ayo maju pantang mundur
Pasti tercapai adil makmur



MARS IPPNU

Sirnalah gelap terbitlah terang
Mentari timur sudah bercahya
Ayunkan langkah pukul genderang
Segala rintangan mundur semua
Tiada laut sedalam iman
Tiada gunung setinggi cita
Sujud kepala kepada tuhan
Tegak kepala lawan derita
Dimalam yang sepi dipagi yang terang
Hatiku teguh bagimu ikatan
Dimalam yang hening dihati membakar
Hatiku penuh bagimu pertiwi
Mekar seribu bunga ditaman
Mekar cintaku pada ikatan
Ilmu kucari amal kuberi
Untuk agama bangsa dan negeri


HIMNE ISNU

Lirik: Ali Masykur Musa
Aransemen: Tya Subiakto



Bersyukur atas karunia Allah
Negeri yang kaya raya alamnya
Tercipta bagi s’luruh rakyat-Nya
Amanah demi sejahtera semua
Memanggil tangan-tangan yang ahli
Merawat, mengelola sepenuh hati
Bagi insan nan selalu memuji
Singsingkan lengan baju siap beraksi

Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
Wadah untuk mengabdi dan beraksi
Bagi yang berdzikir dan berpikir
Perjuangkan kemaslahatan insani

Keadilan, misi kami
Kejujuran , sikap kami
Kebenaran, prinsip kami
Kesetaraan, pergaulan kami
Bismillah, kami berniat suci
Subhanallah, kami berjanji
Alhamdulillah, kami memuji
Allahu Akbar, berserah diri

Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
Bakti kami untukmu Indonesia


MARS ISNU

Lirik: Ali Masykur Musa
Aransemen: Tya Subiakto

Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, siap berbakti dan beraksi
Untuk Indonesia yang aman sejahtera, demi rakyatnya
Kami hadir menjadi lentera bangsa, menyinari sepanjang masa
Cendekia menyatu untuk idea, bendera nusaIkatan Sarjana Nahdlatul Ulama,

wadah cendekia warganya
Kami merindukan Islam Indonesia, yang ramah bersahaja
Beraqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengangkat martabat umatnya
Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Empat Lima

Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, mensyukuri karunia Allah
Negeri yang kaya raya atas alamnya, untuk umatnya
Mari berbakti, mengabdi dan beraksi, untuk cita-cita
Negeri yang adil makmur dan sejahtera, Indonesia



PEREMPUAN ASWAJA

Bangkitlah bangkit perempuan aswaja

Jangan terlena tipu daya dunia
Masa depan slalu menanti
Perjuangan tiada henti
Mari kita kuatkan pondasi

Bangkitlah bangkit perempuan aswaja

Jangan terlena tipu daya dunia
Masa depan slalu menanti
Perjuangan tiada henti
Mari kita kuatkan pondasi

Perempuan aswaja...

Mari kita berkarya....
Janganlah terlena ....
Bujuk rayu belaka ...

Perempuan aswaja...

Inilah saatnya....
Membangun Indonesia ....
Hingga jaya raya.





Share:

Majalah AULA

SIPNU

Blog Archive