Assalamualaikum Wr.Wb.

SELAMAT ATAS MUSRAN NU KALILANGKAP MASA KHIDMAT 2023-2028.....MEDIA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEGIATAN RANTING NU DAN BADAN OTONOM RANTING KALILANGKAP

08 July 2013

TENTANG HISAB RU'YAT



MENUJU SATU KALENDER (1)
Ilmu Hisab Jangan Disakralkan
Rabu, 15/05/2013 10:10

Lajnah Falakiyah PBNU telah menyelenggarakan kegiatan Penyerasian Almanak Tingkat Nasional di Gresik, 9-12 Mei 2013, yang dihadiri para ahli astronomi dari berbagai daerah dan pesantren. Berikut ini catatan NU Online selama mengikuti kegiatan dan hasil dialog dengan para “makhluk langka” itu yang akan dimuat berseri.
Gresik kali ini dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan pertemuan ahli hisab-rukyat. Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghazalie Masroeri mengatakan, Gresik punya potensi kefalakiyahan tingkat nasional. Gresik mempunyai lokasi pantai yang cukup strategis untuk mengamati benda-benda langit.
Lajnah Falakiyah Gresik juga punya markaz rukyat khusus yakni Balai Rukyat Condrodipo, bangunan dua lantai yang berada tepat disamping makam Syekh Condrodipo salah seorang murid Sunan Giri, yang terletak pada ketinggian 120 m di atas permukaan air laut m dan dengan sudut pandang ufuk barat yang nyaris tanpa penghalang serta dilengkapi dengan peralatan rukyat yang cukup canggih.
Bukan hanya itu, Gresik punya banyak sekali “pemburu hilal” yang cukup militan. Lajnah Falakiyah sendiri tidak hanya diisi oleh para ahli astronomi tetapi juga para aktivis yang siap sedia menjalankan roda keorganisasian dan menyiapkan kader-kader “pemburu hilal” dari sekolah-sekolah dan pondok pesantren.
Kegiatan penyerasian hisab di Gresik sengaja diadakan berbarengan dengan dua peristiwa penting terkait bidang astronomi, yakni gerhana matahari pada Jum’at pagi dan Rukyat Awal Rajab 1434 pada Jum’at Sore. Para peserta hisab penyerasian secara “live” mengikuti observasi gerhana dan rukyat awal bulan, masing-masing di Pelabuhan Gresik dan Balai Rukyat Condrodipo.
Observasi gerhana berjalan sesuai rencana, namun sayang rukyat awal Rajab tidak berhasil karena ufuk barat cukup gelap oleh mendung, meskipun posisi hilal sudah memenuhi kriteria visibilitas pengamatan (imkarurukyat). Dari markaz perhitungan Condrodipo Gresik, seperti dalam data hisab metode Irsyadul Murid yang dihitung oleh Ibnu Zahid Abdo el-Moeid, dewan Pakar Lajnah Falakiyah Gresik, umur hilal sudah mencapai 09:48:54. Sementara tinggi hilal pada saat dilakukan pengamatan mencapai 03018’ 08,38”. Namun Jumat petang itu hilal benar-benar tak tampak.
Penyerasian Hisab
Di lingkungan NU, hisab atau teori hitung-hitungan astronomi berfungsi untuk mendukung pelaksanaan rukyatul hilal. Ini kaitannya dengan penentuan awal bulan qamariyah atau hijriyah. Jadi hilal yang hendak diamati itu tidak sekonyong-konyong. Para ahli hisab sudah memperkirakan posisi hilal nanti akan berada di sebelah mana, ketinggian, kemiringan serta lamanya di atas ufuk sudah diperkirakan sebelum pelaksanaan ruakyat.
Namun demikian banyaknya ilmu hisab yang berkembang di pesantren dengan berbagai hasil hitung yang berbeda justru menimbulkan persoalan baru. Bukan saja terkait dengan “klaim’ keberhasilan melihat hilal, tetapi juga beberapa hasil hitung yang berbeda juga akan mengakibatkan perbedaan almanak yang beredar dan membingungkan warga yang awam ilmu falak.
Karya-karya orisinil ulama pesantren di bidang ilmu falak juga cukup banyak. Para ahli falak juga belakangan memakai beberapa metode hisab modern. Jadi selain nama kitab yang akrab di lingkungan pesantren seperti Fathur Rouful Mannan, Khulasotul Wafiyah, Ittifaqu Dzatil Bain, Nurul Anwar atau Irsyadul Murid, para ahli falak juga memakai Ephimeris, Ascript Calculation, Javascript Eclipse dan New Comb.  Kiai Ghazalie menyebutkan sedikitnya ada 20 (duapuluh) metode hisab yang saat ini dipakai di lingkungan ahli falak NU dan pesantren.
Buku Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama yang di dalamnya terdapat petunjuk pelaksanaan penyerasian hisab baru diterbitkan pada 2006, namun menurut Kiai Ghazali, rapat penyerasian hisab sudah berlangsung sebelum Muktamar NU di Lirboyo 1999, yang sebelumnya didahului dengan beberapa kali halaqah dan seminar tentang perlunya kesatuan almanak NU.
Dalam buku pedoman itu disebutkan, “…perbedaan hasil perhitungan, terutama pada stadium yang sulit ditoleransi secara ilmu pasti, merupakan permasalahan yang dihasilkan oleh perkembangan ilmu hisab itu sendiri.” Karena itu diperlukan adanya langkah penyerasian berbagai metode hisab yang ada.
Penyerasian sendiri sebenarnya adalah kritik halus untuk beberapa metode hisab yang mempunyai perbedaan hasil yang cukup menonjol dibandingkan dengan metode-metode hisab lain, atau dengan bahasa yang lebih lugas, mempunyai tingkat akurasi yang kurang memadai karena belum memasukkan beberapa data penting yang merupakan produk terbaru dari perkembangan ilmu astronomi itu sendiri.
Istilah "penyerasian" adalah gaya kritik khas pesantren. Di pesantren, beberapa kitab yang sudah dikaji bertahun-tahun diyakini sudah mempunyai tingkat kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. Para muallif atau pengarang kitab adalah orang alim yang ikhlas dan benar-benar berkarya untuk berharap ridlo Allah SWT. Namun ilmu hisab, sungguhpun ia terkait dengan penentuan waktu ibadah, adalah bagian dari pengetahuan alam.
“Dalil-dalil kauniyah (riset) harus dipakai. Ilmu falak jangan disakralkan. Saya sendiri belajar Khulashoh tetapi tidak menolak yang lain,” kata Kiai Ghazalie. (A. Khoirul Anam dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,44472-lang,id-c,nasional-t,Ilmu+Hisab+Jangan+Disakralkan-.phpx)




Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

oleh Pesantren Virtual (Catatan) pada 29 Agustus 2011 pukul 1:10
Oleh: Thomas Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi -Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI

Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN
perbedaan metode hisab (perhitungan ) dan rukyat (pengamatan) , tetapi pada perbedaan
kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah
Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.
Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha1431/2010 . Idul Fitri 1432/ 2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteriaMuhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012 , 1434/ 2013, dan1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara,“mari kita saling menghormati” . Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersamaormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.

Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah
positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/ 2011. Pada saat maghrib 29
Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya.
Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri
jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29
Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam),mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/ 2006 dan 1428/2007 , laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal .
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu
dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab
wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu
sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan
dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi
sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke- 26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’ i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya http:/ /tdjamaluddin. wordpress.com /2011/ 07/28/ hisab- dan-rukyat -setara -astronomi- menguak-isyarat-lengkap- dalam-al -quran-tentang -penentuan- awal-ramadhan- syawal-dan -dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.

Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya
berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berubalang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa
kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern) . Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan ) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya.
Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya . Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.

Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan
(kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya.
Mereka cukup puas dengan wujudul hilal , kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan ) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata,kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub , imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.

Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU , Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata dikalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan ) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.

Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang” . Semoga Muhammadiyah mau
berubah!
 
Share:

2 comments:

  1. Alhamdulillah,mencerahkan. Saudara-saudara Muhammadiyah, yuk berbenah.

    ReplyDelete
  2. Allohuma ihdina ash-shirototho al-mustaqim, orang yang baik adalah orang yang biso rumongso bukan rumongso iso. mengklaim seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. itu adalah suatu kesombongan belaka. semoga Alloh memberikan ampunan terhadap orang-orang yang sombong dan memberikan hidayah-Nya, khususnya kepada jama'ah Muhammmadiyah, amiin.

    ReplyDelete

Majalah AULA

SIPNU

Blog Archive