• Gedung NU

    Pembangunan Gedung NU Ranting Kalilangkap direalisasikan.

  • MUSRAN NU Kalilangkap 2018

    Musyawarah Ranting ( Musran ) Nahdlatul Ulama Desa Kalilangkap untuk kepengurusan ranting NU masa khidmat 2018-2023 telah laksanakan hari ini Rabu tanggal 27 syawal 1439 H / 11 Juli 2018 H. bertempat di Gedung Lantai 2 SMP Ma’arif NU 01 Bumiayu.

  • BINTEK KARTANU

    Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Brebes mengadakan Bintek dan melaunching Sistem Informasi Strategis Nahdlatu Ulama (Sisnu) sekaligus Kartu Anggota Nahdlatul Ulama (KARTANU) wilayah Brebes Selatan.

  • Kajian Rutin Malam Kamis

    Kegiatan kajian rutin kitab kuning, kitab Riyadusholihin pengurus ranting NU Kalilangkap

  • Slide5

    Maulid Nabi 2017

  • Slide6

    Pengurus Muslimat dan fatayat NU Kalilangkap

  • Slide 7

    Khitanan Massal ranting NU Kalilangkap 2017

  • Slide 8

    Pembangunan Gedung NU ranting NU Kalilangkap

  • Slide 9

    Maulid Nabi tahun 2019

  • Slide 10

    Peletakan batu pertama pembangunan gedung NU

  • Maulid Nabi Muhammad Saw dan Khitanan Massal 2015

    Pengajian Maulid nabi Muhammad SAW dan Khitanan Massal pada hari kamis 25 Desember 2015, oleh Ranting NU, Muslimat NU, Fatayat NUdan GP Ansor berlangsung di KAR Legok.

Assalamualaikum Wr.Wb.

SELAMAT ATAS MUSRAN NU KALILANGKAP MASA KHIDMAT 2023-2028.....MEDIA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KEGIATAN RANTING NU DAN BADAN OTONOM RANTING KALILANGKAP

30 November 2013

ASAL-USUL BUMIAYU: Sejarah atau Legenda?

 

Sejarah asal usul Bumiayu , silakan klik tautan ini ASAL- USUL BUMIAYU

Share:

03 October 2013

4 REKOMENDASI MUNAS NU 2013

INILAH 4 REKOMENDASI HASIL MUNAS NU

Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) sudah menghasilkan beberapa rekomendasi. Rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan berbagai masalah bangsa ini juga sudah diberikan kepada Presiden SBY. Keempat rekomendasi yang ditetapkan pada Senin (17/9) tersebut antara lain;
A.        Politik dan Persoalan Korupsi

Upaya-upaya penanggulangan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum berjalan dengan baik, karena aparatur yang bertugas untuk itu yaitu kepolisian dan kejaksaan, tidak menunjukkan keseriusan. Ketidakseriusan ini hanya dapat diatasi oleh lembaga yang berada di atas keduanya, yaitu Presiden. Presiden juga harus bertindak tegas terhadap aparat pemerintahan di bawahnya yang terlibat korupsi.
Rekomendasi :
1.          Presiden harus segera menggunakan kewenangannya secara penuh dan tanpa tebang pilih atas upaya-upaya penanggulangan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah, utamanya terkait dengan aparat pemerintahan yang terlibat korupsi.
2.         Masyarakat agar berkontribusi aktif dalam upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor, sehingga dapat menimbulkan efek jera dan juga efek pencegahan bagi tindakan korupsi berikutnya.

B.  Persoalan Pajak

Bahwa bagi umat Islam, pungutan yang wajib dibayar berdasarkan perintah langsung dari Al-Quran dan Hadits secara eksplisit adalah zakat. Sedangkan kewajiban membayar pajak hanya berdasarkan perintah yang tidak langsung (implicit) dalam konteks mematuhi penguasa (ulil ‘amri),Penguasa di dalam membelanjakan uang Negara yang diperoleh dari pajak berdasarkan kaidah fikih “tasharruful imam ‘alai ro’iyyah manuutun bil mashlahah al-raiyyah”, mesti mengacu pada tujuan kesejahteraan dan kemanusiaan warga Negara (terutama kaum fakir miskin).

 Ketika ternyata bahwa uang negara yang berasal dari pajak tidak dikelola dengan baik atau tidak dibelanjakan sebagaimana mestinya bahkan terbukti banyak dikorupsi, maka muncul pertanyaan: apakah kewajiban membayar pajak oleh warga negara itu masih punya landasan hukum keagamaan yang kuat? Artinya masihkah menjadi wajib membayar pajak tersebut?

Rekomendasi :
1.    Pemerintah harus lebih transparan dan bertanggungjawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta memastikan tidak ada kebocoran;
2.    Pemerintah harus megutamakan kemashlahatan warga negara terutama fakir miskin dalam penggunaan pajak;
3.     PBNU perlu mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi kedua poin di atas
C.  International : Innocence of  Muslims

Akhir-akhir ini dengan alasan kebebasan berekspresi, muncul beberapa karya dalam media massa yang dirasakan melecehkan dan menodai simbol-simbol agama Islam. Sebagai reaksi terhadap hal itu, banyak dilakukan tindakan yang tidak terkendali dan merusak. Misalnya film The Innocence of Muslims, kartun Nabi Muhammad, dan novel The Satanic Verses. Hal semacam juga terjadi terhadap agama lain.
Rekomendasi
1.        Lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan OKI membuat Konvensi yang mewajibkan semua orang untuk tidak melakukan tindakan yang melecehkan dan atau menodai simbol-simbol yang dihormati agama.
2.        Umat Islam agar tidak mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan yang tidak terkendali dan destruktif oleh segala bentuk serangan seperti yang dilakukan pembuat film Innocent of  Muslims.

D. Pendidikan : Nilai-nilai Kepesentrenan dalam Kurikulum Pendidikan Karakter
Selama ini salah satu kelebihan yang dikenal dari nilai-nilai pendidikan pesantren adalah kemandirian peserta didik dalam menghadapi kehidupannya. Di sisi yang lain, sistem pendidikan pesantren juga terkenal dengan pendidikan karakter lewat keteladanan yang diberikan oleh kyai dan para guru kepada santri-santrinya. Di pesantren para santri juga dibiasakan hidup sederhana, mencukupkan diri, dengan sedikit bekal untuk belajar, jauh dari berkelebihan.
Rekomendasi
1.         Merekomendasikan kepada pemerintah untuk meninjau ulang pendidikan karakter yang masih lemah dan belum menjadi kesadaran atau internalisasi nilai-nilai, serta belum berorientasi ke masa depan (mutu dan kepribadian unggul) bagi peserta didik, sehingga pendidikan karakter tidak bisa diaplikasikan dengan maksimal.
2.         Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan kepada peserta didik karakter yang mulia, baik terkait hubungan dengan manusia (hablu minannas), dengan Allah (hablu minailah), dan dengan alam (hablum minal ‘alam).
3.         Nilai-nilai kepesantrenan (kemandirian, keikhlasan, ketawadhu’an, dan hidup sederhana) itu sangat sesuai dengan semangat pasal 31 ayat (3) UUD 1945 tentang pendidikan yaitu iman, taqwa, dan akhlak mulia, oleh karena itu nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai bagian pendidikan karakter dari sistem pendidikan nasional.
4.         Pemerintah berkewajiban untuk melindungi para pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan dan menjamin pendidik bisa berperan aktif untuk menjalankan pendidikan karakter.
5.         Merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyempurnakan sistem ujian nasional (UN) agar dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang selama ini menghambat tercapainya standar kualitas pendidikan nasional yang diharapkan seperti pelanggaran dan kecurangan.
6.         PBNU harus mendorong berkembangnya peraturan-peraturan daerah yang mempertimbangkan tradisi-tradisi lokal keagamaan agar menjadi spirit pendidikan.  

( www.nu.or.id  .Senin, 17/09/2012 15:30 )
Share:

TAUSIYAH KH SAHAL MAHFUDH: POLITIK NU

Share:

17 September 2013

KONFERENSI RANTING MUSLIMAT NU KALILANGKAP

Pada hari Selasa tanggal 17 September 2013, bertempat di Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum Kalilangkap, telah diselenggarakan Konferensi Ranting Muslimat NU Desa Kalilangkap Kecamatan Bumiayu Kabupaten  Brebes. Dalam Konferensi yang juga dihadiri oleh Ketua Muslimat NU PAC Bumiayu, Pengurus Ranting NU, GP Andor, Fatayat NU dan Badan Otonom NU lainnya, peserta melalui pemungutan suara (voting) telah memilih kembali Hj Nujannah  untuk periode kedua kalinya sebagai ketua Muslimat NU Ranting Kalilangkap peridoe 2013-2015. SELAMAT BERJUANG  KEPADA PIMPINAN RANTING MUSLIMAT NU KALILANGKAP PERIODE 2013-2018.





Share:

08 September 2013

JADWAL RUTIN PENGAJIAN/KAJIAN KITAB

Pengajian /Kajian Kitab yang diselenggarakan oeh pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Desa Kalilangkap Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes.
Hari               : Setiap Malam Kamis (Ba'da shalat Isya)
Tempat          : Masjid/ Musholla di Ranting NU Desa Kalilangkap
Materi           : Kajian kitab Riyadushalihin dan Sulamuttafiq
Narasumber  : Ulama Jajaran Pengurus Syuriyah Ranting NU

Nama Mushola/Masjid tempat pengajian :
Share:

06 September 2013

NU: MENJELANG 2014

Tahun Politik, NU Jangan Mudah Di‘itik-itik’
                      
Jumat, 06/09/2013 15:03

Tegal, NU Online
Posisi NU sebagai lembaga selalu menarik dijadikan ‘kuda troya’ kesuksesan seseorang dalam meraih jabatan politik. NU selalu dijadikan tunggangan oleh pribadi-pribadi yang berasal dari partai politik apapun.
Untuk itu, NU jangan mudah di‘itik-itik’ (kelitik) agar kelihatan senang yang pada akhirnya hanyalah untuk kebesaran partai politik dengan menjual-jual NU.

Hal tersebut disampaikan Wakil Walikota Habib Ali Zaenal Abidin yang juga Mutasyar PCNU Kota Tegal saat memberikan sambutan acara pengajian halal bihalal dan jelang seabad NU, di halaman SMA NU Kota Tegal, Kamis malam (5/9).

Habib Ali menyayangkan tokoh-tokoh muda NU yang menggelar pengajian NU tetapi tidak murni pengajian karena diboncengi kekuatan politik tertentu. “Jangan sampai pengajian NU keluar dari koridornya dengan diboncengi politik, ” kata Habib Ali dengan nada keras.

Ketua PCNU Kota Tegal Dr Abdal Hakim Tohari menandaskan, bahwa NU itu menganut paham politik kebangsaan. NU ada di mana-mana dan tidak ke mana-mana.
Tapi yang jelas, siapapun ng Nahdliyin (warga NU) yang berkiprah di politik harus kita dukung bila memenuhi dua persyaratan khusus, yakni pertama harus berakhlakul karimah dan kedua yang mampu memberi manfaat bagi kelestarian dan pengembangan ahlussunah wal jamaah.

Menyosong se abad NU, lanjutnya, tradisi dan amaliyah NU harus terus disosialisasikan kepada generasi muda. Sebab banyak yang kurang paham seperti halal bihalal, manakib, barzanji, mitoni dan lain-lain. “Kita harus pertahankan dengan mensosialisasikan dan pengamalan yang terus menerus kepada generasi muda,” tuturnya.

PCNU Kota Tegal, kata Abdal, merasa sangat gelisah terhadap generasi muda sekarang yang banyak meninggalkan amaliyah NU. Seperti halal bihalal, meski jaman sudah modern tetapi tidak bisa digantikan dengan fasilitah handphone. HP tidak cukup mewakili karena yang meminta dan yang dimintai maaf tidak sesuai dengan keadaan hati yang sesungguhnya. “Sangat kering, untuk melihat keikhlasannya,” kata Abdal yang juga direktur RSUD Kardinah Brebes. (Wasdiun/Amin)


Share:

30 August 2013

ADA APA DENGAN WAHABI

Untuk warga Nahdliyiin khususnya dan umat Islam umumnya, dipersilakan membaca artikel singkat mengapa wahabi dianggap berbahaya bagi Islam, silakan KLIK
Share:

18 August 2013

ISTILAH "KITAB KUNING"



Istilah kitab kuning sudah tidak asing lagi bagi para santri dan kiai yang pernah mengeyam pendidikan di pesantren terutama pesantren yang ada nilai kesalafannya. Kitab tersebut sudah diajarkan sejak zaman dahulu oleh pendiri-pendiri Islam di Indonesia. Kitab kuning adalah sebuah istilah yang disematkan kepada kitab-kitab yang berbahasa Arab, yang biasa digunakan oleh beberapa pesantren atau madrasah Diniyah sebagai bahan pelajaran. Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning.
Sebenarnya warna kuning itu hanya suatu kebetulan saja, lantaran zaman dahulu barang kali belum ada jenis kertas seperti zaman sekarang yang putih warnanya. Mungkin di masa lalu yang tersedia memang itu saja. Juga dicetak dengan alat cetak sederhana, dengan tata letak dan lay-out yang monoton, kaku dan cenderung kurang nyaman dibaca. Bahkan kitab-kitab itu seringkali tidak dijilid, melainkan hanya dilipat saja dan diberi cover dengan kertas yang lebih tebal (kurasan).
Untuk sekarang, kitab-kitab tersebut sudah banyak yang dicetak dengan memakai kertas  putih dan dijilid dengan rapi. Penampilannya tidak kalah menariknya dengan penampilan buku-buku yang selain memakai bahasa Arab, seperti kitab-kitab yang dicetak dari percetakan Dar al Kotob Al Ilmiyah, Beirut Lebanon dan Al Haramain Surabaya.
Kitab baru yang sudah masuk dalam kategori kitab kuning contohnya "Fiqhul Islam" terbitan 1995. Sedangkan kitab kuning tulisan ulama Indonesia di antaranya kitab "Sirojul Tholibbin". Kitab yang memperjelas kitab "Minhajul Abidin" karya Imam al-Ghazali itu ditulis Syaikh Ikhsan dari Pondok Pesantren Jampes, Kediri. "Sirojul Tholibbin" hingga kini menjadi bacaan wajib di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Contoh kitab kuning dari ulama Indonesia lainnya adalah kitab "Sullamut Taufiq" karya Imam Nawawi dari Banten, yang bertarikh 1358 (Majalah Tempo Interaktif, 2009).

Istilah kitab kuning  bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah ciri khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharakat, bahkan tidak ada tanda baca dan maknanya sama sekali. Tidak seperti layaknya kitab-kitab sekarang yang sudah banyak diberi makna dan harakat sampai catatan pinggirnya.

Istilah “kitab kuno”  juga sebutan lain untuk kitab kuning. Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya penulisannya kini jarang lagi digunakan kecuali di pesantren yang masih kental dengan nilai-nilai kesalafan seperti pondok Lirboyo, Sarang dan Ploso.
Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada yang menyebutnya dengan sebutan “kitab klasik” (al-kutub al-qadimah). Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.

Untuk lebih detail lagi, kitab kuning dapat didefinisikan dengan tiga pengertian: Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing. Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya (Rifqi, 2012).

Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kutub al-‘ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca(punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Dalam perkembangannya, istilah  kitab kuning yang sudah mendarah daging untuk kalangan pesantren salaf telah dibuat plesetan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab dengan dikonotasikan sebagai idiom atas kotoran yang berwarna kuning (Intelektual Pesantren, 2003). Statemen ini jelas sangat menghina para kiai dan santri serta menghina nilai-nilai yang tertera di dalam kitab tersebut.
Menanggapi masalah istilah kitab kuning, KH Maimoen Zubair,  pengasuh Pesantren Al Anwar dan juga mudir ‘Am majalah At Turast (majalah pegon di Yogyakarta) mempunyai pemikiran yang cemerlang. Menurutnya, kuning yang ada dalam istilah kitab kuning itu diambil dari kata Arab “ashfar” yang mempunyai arti kosong. Jadi, kalau seseorang ingin menjadi kiai atau ulama yang alim dalam masalah agama, dia harus bisa membaca kitab dengan kosong, tanpa memakai makna gandul (makna pegon ditulis miring) dan harakat (22/09/2012).
Untuk mencapai derajat kiai yang alim seperti yang telah dikemukakan oleh KH. Maimoen Zubair tadi, tentunya seseorang harus belajar dengan tekun untuk memahami Gramatika Arab, seperti kitab Al Jurumiyah (karya Syaikh Muhammad As Sonhaji), Al Imrithi (karya Syaikh Sarifudin Yahya) dan Alfiyah (karya Syaikh Muhammad Jamaludin bin Malik). Di dalam tiga kitab ini memuat kaidah-kaidah yang dapat mengantarkan kita untuk memahami kitab kuning. Ujungnya, kita akan memahami sumber pokok hukum Islam, al-Quran dan al-Hadist.
(Dikutip dari  www.nu.or.idRabu, 24/10/2012 )
*Penulis Adalah aktivis Ma’had Aly Al Anwar dan ketua Website PP. Al Anwar Sarang Rembang Jateng asal Pati.
Share:

13 August 2013

TENTANG ASSET NU



Surabaya, NU Online
Tidak terhitung berapa aset yang awalnya diberikan atas nama Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya berujung sengketa. Sekolah, masjid dan mushalla, rumah sakit, serta fasilitas umat yang lain akhirnya berpindah kepemilikan.

Padahal saat awal pendirian, dengan sangat ikhlash sejumlah aset itu diperuntukkan bagi kegiatan umat dan organisasi. Namun seiring berjalannya waktu, sejumlah aset akhirnya dikuasai perseorangan.

Keprihatinan ini disampaikan Saiful Munir kepada NU Online, Sabtu (10/8). Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Wakaf dan Pertanahan PWNU Jawa Timur periode lalu ini tidak sedikit harus turun gunung menyelesaikan sengketa kepemilikan. “Ada yang berhasil diselamatkan, namun tidak sedikit yang akhirnya harus diikhlaskan untuk berpindah kepemilikan,” katanya.

Karena itu, hal mendesak yang harus dilakukan adalah mengatasnamakan seluruh aset yang ada dengan berbadah hukum NU. “Ini akan lebih memberikan kepastian ketika terjadi hal yang tidak diinginkan di belakang hari,” terangnya.

Beberapa langkah nyata telah dilakukan saat ia menjabat sebagai Ketua PW Lembaga Wakaf dan Pertanahan NU Jawa Timur. “Beberapa waktu lalu kami telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur,” kata Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia Jawa Timur ini.

Dengan MoU atau Memorandum of Understanding ini, sejumlah Kepala BTN di tingkat Kota dan Kabupaten se Jawa Timur bisa memproses sertivikat aset dengan lebih cepat dan murah. “Ini  kesempatan langka dan harus ditindaklanjuti,” katanya.

Sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Timur telah meneruskan hal ini. “Gresik, Mojokerto, Banyuwangi sudah beres,” katanya. “Dan sejumlah kota lain akan segera menyusul,” lanjutnya.

Hanya saja ikhtiar ini belum menjadi kebulatan tekad khususnya di kepengurusan NU level yang lebih tinggi. “Kita berharap PBNU dapat mengawali dengan memberikan contoh bagaimana sebuah lembaga, tempat ibadah atau kantor serta aset NU yang diatasnamakan jam’iyah ini,” harapnya.

Karena dalam pandangannya, keengganan beberapa lembaga, unit usaha serta layanan masyarakat yang telah eksis masih menerka-nerka dan adanya kekhawatiran justru akan menjadi petaka di kemudian hari.

Sejumlah kampus atau rumah sakit sudah bernama NU, namun masih berada dibawah yayasan tertentu. “Mengapa tidak diatasnamakan NU?” katanya balik bertanya.

“Kita bisa belajar dari banyak organisasi lain yang telah berhasil melakukan sertifikasi beberapa aset yang dimiliki sehingga hasil dari jenis usaha yang ada bisa dioptimalkan untuk kemajuan organisasinya,” tandas Ketua Bidang Perwakafan Dewan Masjid Indonesia Jawa Timur ini.

Baginya, ada banyak manfaat yang akan diraih dari penyeragaman sertifikasi tersebut. “Yang paling penting adalah seluruh aset tersebut bisa termonitor secara lebih optimal,” katanya. “Demikian pula yang tidak kalah berharga adalah bisa menyelamatan aset organiasai,” pungkasnya.

Selasa, 13/08/2013 10:4,nu.or.id

Redaktur    : A. Khoirul Anam
Kontributor: Syaifullah
Share:

04 August 2013

FOTO PEMASANGAN PAPAN NAMA NU

Akhirnya hari-hari yang dinantikan oleh warga Nahdliyyin pun tiba,  pada hari ahad, tgl 26 Ramadhan 1434 H atau 4 Agustus 2013 setelah salat asar, papan nama Ranting NU Kalilangkap secarar resmi dipasang.




Share:

TENTANG RUKYATUL HILAL


Selasa, 09/07/2013 07:07
Metodologi penentuan awal bulan qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (ru'yatul hilal bil fi'ly). Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab) dipakai untuk membantu prosesi rukyat.
Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun dasar hukumnya antara lain:a. Hadist muttafaq alaihi(diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang berbunyi:

 حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
"Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354) 

Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" (rukyatul hilal) sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada.

b. Kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Sebagaimana dalam hadits: 

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
"Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok." (HR Abu Daud 283/6)

c.Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan:

وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
"Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi Barat".

Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian Timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di Barat.

d. Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan:

َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ

"Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini" 

e. Dalam kita Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan: 

أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ 
"Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua, yang pertama: terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang sudah tersebar luas."

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya rukyah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf matholi').

f. Bughyatul Mustarsyidin

لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ
Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari.

g. Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur

قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ

Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: “Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.”  (Red: Ulil H.) Dikutip dari www.nu.or.id
Share:

21 July 2013

BAHAYA WAHABI

Kang Said: Satu Digit Lagi, Wahabi Jadi Teroris
Ahad, 21/07/2013 01:01
Jakarta, NU Online
Satu digit lagi, kader-kader wahabi menjadi teroris. Nilai-nilai wahabi memberikan udara segar bagi tumbuhnya bibit terorisme. Nilai itu memberikan ruang lebar bagi perpecahan sesama muslim dan sesama manusia.

Demikian dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj yang akrab disapa Kang Said dalam sambutan pembukaan Pelatihan Aswaja dan Empat Pilar di Kantor PBNU, jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jum‘at (19/20) sore.

“Wahabi memang bukan teroris. Namun, ajarannya sangat dekat dengan kekerasan,” kata Kang Said di hadapan sedikitnya seratus peserta pelatihan.

Ajaran wahabi, menurut Kang Said, tidak ramah manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan membawa masalah perbedaan sikap beragama pada masalah teologis. Mereka mengklaim kebenaran hanya milik kelompok sendiri dalam segala hal.

Mereka, lanjut Kang Said, memaksakan kebenaran kepada kelompok lain. Mereka mewujudkan paksaan tergantung pada kesempatan dan kenekatan.

Kalau ada kesempatan, kenekatan, dan fasilitas lain seperti senjata, maka mereka akan bergerak memaksakan kehendak, tutup Kang Said.

Pelatihan diikuti oleh kader lima cabang Muslimat NU di Jakarta yang terhimpun dalam Himpunan Daiyah Muslimat NU (Hidmat NU) dan kader Lembaga Dakwah NU (LDNU) se-Jabodetabek.


Penulis: Ahafiz Kurniawan
Share:

10 July 2013

ANTARA BAROKAH DAN BID'AH

Baca selengkapnya tentang Barokah dan Bid'ah pada website http://www.nu.or.id
Share:

waktu

Share:

08 July 2013

LOGO NU DAN BANOM NU































Share:

TENTANG HISAB RU'YAT



MENUJU SATU KALENDER (1)
Ilmu Hisab Jangan Disakralkan
Rabu, 15/05/2013 10:10

Lajnah Falakiyah PBNU telah menyelenggarakan kegiatan Penyerasian Almanak Tingkat Nasional di Gresik, 9-12 Mei 2013, yang dihadiri para ahli astronomi dari berbagai daerah dan pesantren. Berikut ini catatan NU Online selama mengikuti kegiatan dan hasil dialog dengan para “makhluk langka” itu yang akan dimuat berseri.
Gresik kali ini dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan pertemuan ahli hisab-rukyat. Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A. Ghazalie Masroeri mengatakan, Gresik punya potensi kefalakiyahan tingkat nasional. Gresik mempunyai lokasi pantai yang cukup strategis untuk mengamati benda-benda langit.
Lajnah Falakiyah Gresik juga punya markaz rukyat khusus yakni Balai Rukyat Condrodipo, bangunan dua lantai yang berada tepat disamping makam Syekh Condrodipo salah seorang murid Sunan Giri, yang terletak pada ketinggian 120 m di atas permukaan air laut m dan dengan sudut pandang ufuk barat yang nyaris tanpa penghalang serta dilengkapi dengan peralatan rukyat yang cukup canggih.
Bukan hanya itu, Gresik punya banyak sekali “pemburu hilal” yang cukup militan. Lajnah Falakiyah sendiri tidak hanya diisi oleh para ahli astronomi tetapi juga para aktivis yang siap sedia menjalankan roda keorganisasian dan menyiapkan kader-kader “pemburu hilal” dari sekolah-sekolah dan pondok pesantren.
Kegiatan penyerasian hisab di Gresik sengaja diadakan berbarengan dengan dua peristiwa penting terkait bidang astronomi, yakni gerhana matahari pada Jum’at pagi dan Rukyat Awal Rajab 1434 pada Jum’at Sore. Para peserta hisab penyerasian secara “live” mengikuti observasi gerhana dan rukyat awal bulan, masing-masing di Pelabuhan Gresik dan Balai Rukyat Condrodipo.
Observasi gerhana berjalan sesuai rencana, namun sayang rukyat awal Rajab tidak berhasil karena ufuk barat cukup gelap oleh mendung, meskipun posisi hilal sudah memenuhi kriteria visibilitas pengamatan (imkarurukyat). Dari markaz perhitungan Condrodipo Gresik, seperti dalam data hisab metode Irsyadul Murid yang dihitung oleh Ibnu Zahid Abdo el-Moeid, dewan Pakar Lajnah Falakiyah Gresik, umur hilal sudah mencapai 09:48:54. Sementara tinggi hilal pada saat dilakukan pengamatan mencapai 03018’ 08,38”. Namun Jumat petang itu hilal benar-benar tak tampak.
Penyerasian Hisab
Di lingkungan NU, hisab atau teori hitung-hitungan astronomi berfungsi untuk mendukung pelaksanaan rukyatul hilal. Ini kaitannya dengan penentuan awal bulan qamariyah atau hijriyah. Jadi hilal yang hendak diamati itu tidak sekonyong-konyong. Para ahli hisab sudah memperkirakan posisi hilal nanti akan berada di sebelah mana, ketinggian, kemiringan serta lamanya di atas ufuk sudah diperkirakan sebelum pelaksanaan ruakyat.
Namun demikian banyaknya ilmu hisab yang berkembang di pesantren dengan berbagai hasil hitung yang berbeda justru menimbulkan persoalan baru. Bukan saja terkait dengan “klaim’ keberhasilan melihat hilal, tetapi juga beberapa hasil hitung yang berbeda juga akan mengakibatkan perbedaan almanak yang beredar dan membingungkan warga yang awam ilmu falak.
Karya-karya orisinil ulama pesantren di bidang ilmu falak juga cukup banyak. Para ahli falak juga belakangan memakai beberapa metode hisab modern. Jadi selain nama kitab yang akrab di lingkungan pesantren seperti Fathur Rouful Mannan, Khulasotul Wafiyah, Ittifaqu Dzatil Bain, Nurul Anwar atau Irsyadul Murid, para ahli falak juga memakai Ephimeris, Ascript Calculation, Javascript Eclipse dan New Comb.  Kiai Ghazalie menyebutkan sedikitnya ada 20 (duapuluh) metode hisab yang saat ini dipakai di lingkungan ahli falak NU dan pesantren.
Buku Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama yang di dalamnya terdapat petunjuk pelaksanaan penyerasian hisab baru diterbitkan pada 2006, namun menurut Kiai Ghazali, rapat penyerasian hisab sudah berlangsung sebelum Muktamar NU di Lirboyo 1999, yang sebelumnya didahului dengan beberapa kali halaqah dan seminar tentang perlunya kesatuan almanak NU.
Dalam buku pedoman itu disebutkan, “…perbedaan hasil perhitungan, terutama pada stadium yang sulit ditoleransi secara ilmu pasti, merupakan permasalahan yang dihasilkan oleh perkembangan ilmu hisab itu sendiri.” Karena itu diperlukan adanya langkah penyerasian berbagai metode hisab yang ada.
Penyerasian sendiri sebenarnya adalah kritik halus untuk beberapa metode hisab yang mempunyai perbedaan hasil yang cukup menonjol dibandingkan dengan metode-metode hisab lain, atau dengan bahasa yang lebih lugas, mempunyai tingkat akurasi yang kurang memadai karena belum memasukkan beberapa data penting yang merupakan produk terbaru dari perkembangan ilmu astronomi itu sendiri.
Istilah "penyerasian" adalah gaya kritik khas pesantren. Di pesantren, beberapa kitab yang sudah dikaji bertahun-tahun diyakini sudah mempunyai tingkat kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. Para muallif atau pengarang kitab adalah orang alim yang ikhlas dan benar-benar berkarya untuk berharap ridlo Allah SWT. Namun ilmu hisab, sungguhpun ia terkait dengan penentuan waktu ibadah, adalah bagian dari pengetahuan alam.
“Dalil-dalil kauniyah (riset) harus dipakai. Ilmu falak jangan disakralkan. Saya sendiri belajar Khulashoh tetapi tidak menolak yang lain,” kata Kiai Ghazalie. (A. Khoirul Anam dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,44472-lang,id-c,nasional-t,Ilmu+Hisab+Jangan+Disakralkan-.phpx)




Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

oleh Pesantren Virtual (Catatan) pada 29 Agustus 2011 pukul 1:10
Oleh: Thomas Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi -Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI

Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN
perbedaan metode hisab (perhitungan ) dan rukyat (pengamatan) , tetapi pada perbedaan
kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah
Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.
Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha1431/2010 . Idul Fitri 1432/ 2011 tahun ini juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteriaMuhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012 , 1434/ 2013, dan1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara,“mari kita saling menghormati” . Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersamaormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.

Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah
positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/ 2011. Pada saat maghrib 29
Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya.
Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri
jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29
Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam),mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/ 2006 dan 1428/2007 , laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal .
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu
dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab
wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu
sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan
dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi
sesungguhnya tidak faham ilmu hisab, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal.
Oktober 2003 lalu saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke- 26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’ i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan (rincinya silakan baca blog saya http:/ /tdjamaluddin. wordpress.com /2011/ 07/28/ hisab- dan-rukyat -setara -astronomi- menguak-isyarat-lengkap- dalam-al -quran-tentang -penentuan- awal-ramadhan- syawal-dan -dzulhijjah/ ). Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.

Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (hanya
berdasarkan periodik, 30 dan 29 hari berubalang-ulang, yang kini digunakan oleh beberapa
kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya berbeda dengan metode hisab atau rukyat modern) . Lalu berkembang hisab imkan rukyat (visibilitas hilal, menghitung kemungkinan hilal teramati), tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan ) yang akurasinya masih rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya.
Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kurang keterlibatan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya . Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.

Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan
(kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya.
Mereka cukup puas dengan wujudul hilal , kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan ) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata,kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamal rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub , imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan.

Demi penyatuan ummat melalui kalender hijriyah, memang saya sering mengkritisi praktek hisab rukyat di NU , Muhammadiyah, dan Persis. NU dan Persis sangat terbuka terhadap perubahan. Muhammadiyah cenderung resisten dan defensif dalam hal metode hisabnya. Pendapatnya tampak merata dikalangan anggota Muhammadiyah, seolah hisab itu hanya dengan kriteria wujudul hilal. Itu sudah menjadi keyakinan mereka yang katanya sulit diubah. Gerakan tajdid (pembaharuan ) dalam ilmu hisab dimatikannya sendiri. Ketika diajak membahas kriteria imkan rukyat, tampak apriori seolah itu bagian dari rukyat yang terkesan dihindari.

Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kelendernya usang” . Semoga Muhammadiyah mau
berubah!
 
Share:

Majalah AULA

SIPNU

Blog Archive